Beberapa waktu lalu, saya dikasih masalah sama Allah, alhamdulillah. Untuk ukuran saya yang gampang panik, sedih, nangisan … itu masalah itungannya berat dan besar. Biar saya enggak nangis melulu (karena saya nangis terus), biar saya bisa tidur (karena saya enggak bisa tidur sampai sebulan), dan biar saya juga bisa makan (karena saya enggak lapar sama sekali sampai sebulan), Ayah saya nelpon beberapa hari sekali.

Nasehatnya, “Diamlah dan tenanglah. Biar Allah yang selesaikan masalahmu.”

Settingan kamar kalo malem. Saya lagi suka banget lampu cuma nyala yang kecil aja kalo malem.

Tapi, saya, kan, ngeyelan gitu orangnya. Bukan ngeyelan yang gimana-gimana, sih. Kalo ada hal yang enggak masuk di akal saya, biasanya saya enggak mau nerima. Pokoknya apa-apa musti dilogikain, apa-apa musti masuk dulu ke otak dan dipikirin, enggak bisa nerima-nerima aja. Makanya si Ayah terus-terusan ngajarin saya tentang tauhid di sepanjang waktu itu. Saya dengerin, saya catet, saya beneran berusaha memahami–yang mana, setelah dua bulanan saya belajar tauhid sama si Ayah, ternyata tauhid itu urusannya bukan bisa atau enggak dilogikain, tapi udah urusan keimanan. “Percaya atau enggak, nih?” Sesimpel dan serumit itu. 😀

Di jeda antara ngajarin tauhid dengan menghibur saya, si Ayah menasehati saya untuk diam. Iya, diam. Saya disuruh diam. Enggak cerita masalah saya ke mana-mana–yang mana saya tetap curhat ke Mama saya, ke Sinung, bahkan ada beberapa waktu lalu saya cerita di Threads. Saya bilang sama si Ayah kalo saya curhat sama kedua orang itu, dibolehin. Yah, namanya cewek, kan, pengennya cerita buat ngilangin beban yang memberat dada. Sampai tadi malam, pun, saya masih curhat sama Sinung karena ada beberapa bagian dari masalah ini yang saya masih keukeuh pengen ngelogikain. Untuk cerita di Threads, saya sengaja cerita karena saya merasa harus melindungi orang lain yang belum tahu. Semoga Allah memberi perlindungan buat kita semua.

Trotoar yang saya lewati setiap jalan ke kampus Sinung atau ke mall.

Saya ke Sydney juga salah satu bentuk ‘diam’ yang sedang saya usahakan. Banyak waktu saya habiskan di sini untuk diam dan tenang, bukan untuk membiarkan masalah itu, tetapi untuk menyerahkannya sama Allah. Semoga Allah yang selesaikan dengan cara apa pun yang Allah mau. Banyak hari di kota ini saya habiskan dengan jalan bolak-balik ke kampus Sinung dan ke mall buat belanja. Kalo saya enggak lagi pengen jalan karena di luar hujan atau terlalu dingin, saya di kamar, diam. Enggak nonton, enggak dengerin musik, enggak baca, enggak ngapa-ngapain, saya cuma diam. Diam untuk membuat diri saya menerima bahwa ini semua adalah yang terbaik. Masalah datang bukan untuk memberatkan saya, menyesakkan dada saya, atau membuat saya mempertanyakan harga diri saya, tapi untuk membuat hal-hal buruk yang dilakukan orang lain ke saya jadi berhenti.

Saya itu sedang dilindungi. Dipindahkan dari tempat berbahaya ke tempat yang lebih aman.

Maryam juga diam ketika membawa pulang bayi Isa a.s dalam gendongannya, Allah kemudian membelanya, menyelesaikan masalahnya, dan membuat Isa a.s bicara untuk membela ibunya. Ketika Hafsah binti Umar diceraikan Rosulullah, dia juga diam. Aisyah binti Abu Bakar juga diam ketika difitnah. Lalu, Allah membela mereka. Bahkan Allah menurunkan ayat untuk membela Aisyah.

Tauhid yang diajarkan si Ayah berhari-hari lewat telepon itu adalah dasar yang membuat saya–pada akhirnya–memahami bahwa yang saya butuhkan hanya diam. Tapi, untuk menerima bahwa yang saya perlukan adalah diam agar saya enggak salah-salah kata atau malah membesar-besarkan masalah sampai enggak sesuai dengan proporsinya lagi, dan malah jadi fitnah bagi orang lain, dasarnya emang saya harus percaya dulu sepercaya-percayanya kalo Allah itu ada. Dasar untuk percaya Allah itu ada (iman) adalah dengan memahami Allah itu apa dan siapa.

Sampai saya paham bahwa, “La ilaha illa Allah (لا إله إلا الله),” bukan berarti ‘tiada tuhan selain Allah’, tapi (menurut si Ayah) arti lebih tepatnya adalah; tiada yang ada selain Allah.

Masalah saya termasuk enggak ada kalo pakai pemahaman itu. Saya juga enggak ada. Yang ada cuma Allah.

Perlu dua bulan untuk saya bisa memahami dan menerima bahwa emang enggak ada satu pun yang ada selain Allah. Perlu dua bulan untuk belajar diam dan belajar tenang.

Nasehat-nasehat lain yang diberikan si Ayah banyakan berhubungan dengan urusan kehidupan sehari-hari. Kayak; saya dinasehatkan untuk selalu berdoa setiap ingin makan, bahwa; saya makan untuk memberi nutrisi pada tubuh saya karena itu hak tubuh saya dan untuk menikmati nikmat yang udah Allah berikan. Atau; saya dinasehatkan untuk memulai hari, ketika bangun tidur, sebelum turun dari tempat tidur, untuk berdoa mohon dimudahkan urusan saya di hari ini karena saya ingin menikmati nikmat waktu yang Allah berikan. Di dalam nikmat waktu itu, ada hal-hal yang saya juga niatkan untuk kebaikan, misalnya; masak buat Sinung, ngurus anak, kirim-kiriman reels kocheeeng ke anak-anak biar kami happy, dan lainnya.

Lagi-lagi, dasarnya; belajar tauhid dulu.

Lalu diamlah dan tenanglah. Biarkan Allah yang mengurusmu.

Ketika di suatu malam saya telponan sama si Ayah sampai tiga jam lebih, si Ayah nanya, “Apa yang kamu mau dari masalah ini sekarang?”

Saya jawab, “Saya mau apa yang saya usahakan selama beberapa tahun ke belakang tetap utuh, tetap baik, dan saya mau bisa tetap melanjutkan apa yang udah saya mulai.”

Si Ayah jawab, “Allah tahu itu. Kamu enggak ngomong pun, Allah tahu. Jadi, diamlah dan tenanglah.”

Sekali waktu, saya bertanya, “Kenapa Ayah suka ngasih nasehat? Enggak maksa-maksa dan nyuruh-nyuruh, atau bilang ini itu haram?”

“Karena agama itu nasehat.”

Bonus foto sewaktu saya nungguin Sinung submit paper di lab-nya. Saya yaaa … makan-makan. 😀

Visited 50 times, 1 visit(s) today

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.