Selamat pagiii~

Hari ini saya agak happy karena … entahlah. Haha. Kemaren saya masak pecel dan masih sisa sampai pagi tadi yang dibawa buat bekel sama si Tuan. Dia sarapannya malah makan Buldak. Sambil dia siap-siap, yang mana saya masih gelindingan di tempat tidur, kami ngomongin temen-temennya.

Pertanyaan yang tersisa setelah dia berangkat ke Meadowbank (karena hari ini dia ngantor di sana, enggak di kampus) adalah; mereka berusaha sampai kayak gitu buat hidup yang lebih baik, kamu? Atau, kami, deh. Kami?

Tetangga saya orang Nepal, cowok. Namanya susah ditulis dan kayaknya saya enggak akan nulis semua nama orang di tulisan ini. 😁 Kulitnya putih kemerahan dan itu yang pertama kali saya lihat dari dia. Sekarang dia kerja di Coles, entah jadi apaan. Saya suka ngeliat dia pagi-pagi lewat sambil agak buru-buru jalan. Sebelumnya, dia master di sini dan kayaknya nyari kerja yang sesuai dengan jurusan kuliah dan skill dia agak susah–saya juga enggak ngeh banget jurusan kuliahnya apa karena enggak pernah nanya sedetail itu.

Beberapa hari yang lalu, dia pamitan mau pindah ke regional. ‘Regional’ yang dimaksud itu mungkin mirip kayak kalo di Indonesia, kita ngomong, “Gue mau pindah ke kabupaten, nih.” Alasannya adalah susahnya mencari pekerjaan yang sesuai di kota besar kayak Sydney ini dan juga karena dia mau cari PR (Permanent Resident). Ada banyak jenis visa di sini, kalo kamu iseng, kamu bisa lihat-lihat di link ini. Dia dapet kerjaan di regional–yang mana lupa pula ditanyain di mana tepatnya–dan dia mau berangkat segera untuk pelatihan. Enggak ada fairytale di sini. Yang ada hanya; anak anak muda yang kuliah ke sini dan bercita-cita untuk hidup di sini sebagai PR.

Cerita-cerita kayak gini, sejak saya sampai di sini, banyak saya denger. Lagi-lagi, di akhirnya, saya akan nanya ke diri saya, “Mereka berusaha sampai segitunya, saya?”

Di lab Si Tuan, ada cewek dari China. Namanya enggak saya sebutkan karena … saya lupa. 😑 Cewek ini berangkat ke Sydney ketika dia SMA. Iya, SMA. Dia ke sini sendiri setelah cukup umur tanpa ada keluarga di sini. Dia sekolah SMA di sini buat persiapan untuk masuk ke kampus Macquarie (MQ). Mungkin dia dibantu komunitas orang China di sini, ya, tapi dia sendiri ngekos, trus kerja sambilan, dan emang sedari awal dia udah pengen masuk ke MQ. Akhirnya dia masuk MQ dengan biaya sendiri dan lulus tahun lalu dari School of Computing. Pekerjaan pertama dia adalah bareng si Tuan. Bedanya, kalo dia pekerjanya, si Tuan lebih kayak konsultannya. Jadi, si Tuan banyak ngajarin dia apa-apa yang musti dia kerjain.

Pernah suatu kali saya nanya, “Emang anak baru lulus gitu belum bisa dilepas sendiri gitu kerjanya?”

Jawaban si Tuan, “Yah … dia masih lebih banyak teori dan kurang pengalaman.”

Gajinya–ini kayaknya agak sensitif tapi enggak apa saya ceritain aja, ya–itu enggak sampai AUD 10k per bulan, tapi itu pekerjaan pertama dia, ya. Saya enggak tahu rencana dia ke depannya apa, mungkin saya bisa titip tanya ke si Tuan kalo dia lagi ngobrol sama cewek ini. Yang jelas, sekarang yang dia usahain dengan berani sejak SMA udah mulai keliatan.

Saya kenal cowok India, umurnya 24-25an tahun kayaknya. Baru sarjana tapi udah kerja di sini. Dia generasi ke dua di sini, punya keluarga di regional mana gitu, saya lupa. Keluarganya di India adalah pebisnis dan dia kerja di lab juga sama si Tuan. Dia S1 di sini karena tahu kalo dia cuma di India, yaaa … dia nothing. 😁

Gajinya kayaknya lebih di atas cewek China yang saya ceritain di atas. Tapi, setiap hari, cowok ini apply pekerjaan sampai puluhan. Pekan lalu, dia cerita kalo dia interview untuk 15 pekerjaan dan enggak dapet. Tapi, dia tetap nyari. Dia mau gaji lebih baik dan karena umurnya masih muda, dia mudah aja untuk pindah-pindah ke mana yang dia mau. Belum ada beban apa pun yang ngebikin dia enggak bisa ngelakuin yang dia mau, termasuk di satu titik, dia kerja di McD buat hidup. Dia enggak malu, yaudah … itu fase, sesuatu yang harus dilakukan untuk bertahan.

Ada cowok Prancis temen deket si Tuan di lab. Dia enggak kerja bareng, tapi dia postdoc di kampus. Ini adalah kontrak postdoc dia yang pertama setelah dia selesai Ph.D. Umurnya baru 30an awal dan orangnya baiiik … dan ceriaaa banget. Kontrak postdoc dia habis di Maret besok (kontraknya cuma setahun) dan kayaknya enggak akan diperpanjang karena ada lab belum dapet funding lagi.

Suatu ketika, saya nanya sama dia di jalan pulang (kadang kami pulang bareng); apa yang mau dia kerjain setelah postdoc? Karena postdoc itu biasanya dijadikan fase transisi aja sama kebanyakan orang. Entah untuk transisi jadi dosen atau masuk ke lapangan pekerjaan. Cowok ini sukanya riset, jadi dia jawab, “Kayaknya saya mau ngajar aja di Prancis.”

Ambil MRes dan Ph.D di sini itu enggak seindah apa yang bisa dilihat dari luar. Saya pengen nyeritain ini kapan-kapan. Saya sendiri ngerasa enggak akan mampu ngejalaninnya kalo saya ada di posisi si Tuan. Dia bisa karena dia sangat teratur dengan waktu, enggak pemalas sama sekali (dia bisa baca paper atau nulis sambil nungguin cucian), enggak banyak mengeluh (karena semuanya ditelen aja), dan dia tahu apa yang dia mau dan bagaimana strateginya. Satu hal lagi yang kayaknya dibutuhkan buat bisa ngejalanin itu semua adalah; dia enggak neurotic. Dia selalu tenang.

Dia enggak punya pilihan. Di posisi dia sekarang, dia harus sekolah lagi karena dia punya anak-anak dan dia perlu memastikan semua anak-anaknya akan dapat dukungan yang diperlukan untuk hidup mereka. Emang enggak akan seberani si cewek China yang nekat ke sini pas SMA karena tahu dia musti kuliah di sini, enggak … anak-anak saya enggak akan senekat itu. Kalo enggak dia yang ngebuka jalan, nanti anak-anak dia yang akan mati-matian ngebuka jalan mereka sendiri. Si Tuan memilih dia aja yang mati-matian, biar anak-anaknya cukup pingsan-pingsan aja. Hahahaaa.

Saya kenal pasangan dari Srilanka yang istrinya kuliah bareng si Tuan dan suaminya ikut ke sini. Si suami kerja blue collar dan mereka memutuskan untuk ke sini berdua juga karena itu adalah kesempatan untuk memperbaiki nasib. Berdasarkan cerita mereka, kondisi di sana sama aja kayak di Jakarta; gaji kecil, kondisi sosial-ekonomi enggak baik, dan sulit untuk naik jabatan atau dapat pekerjaan dengan gaji yang besar kalau enggak punya titel atau skill yang emang dibayar mahal.

Cerita-cerita tentang WHV (Work Holiday Visa) yang katanya bisa buat nabung sampai 1M setahun itu … yah, mungkin ada benarnya. Tapi, itu enggak akan seindah itu juga. Hidup itu sawang-sinawang dan saya suka mendengarkan cerita perjuangan orang-orang yang ada di sini karena saya mau tahu; apa, sih, yang mereka perjuangkan? Sekuat apa mereka berjuang? Sekeras apa tekat dan nekatnya mereka? Kalau saya mau berjuang juga, strategi seperti apa yang bisa saya tiru dan pelajari? Dan terakhir, mungkin saya musti berani.

Orang hidup di luar negeri dan banyak posting hal-hal indah, saya memaklumi itu karena bisa jadi ada berat perjuangan di belakangnya. Satu foto di Opera House itu bisa jadi sudah direncanakan sejak lama setelah membaca puluhan paper, revisi paper yang bisa jadi banyak banget dan bikin stress, dan uang yang tipiiis. Hahaaa.

Let them be happy.

Saya sendiri posisinya agak aneh sebenernya. Agak susah ngejelasin ke orang kalo saya di sini bukan mahasiswa dan enggak kerja juga. Kebanyakan orang akan bertanya kenapa saya enggak kerja. Alasan pertama, sih, karena visa saya belum bisa buat kerja. Alasan kedua karena … saya belum mau. Saya tahu kerja itu enggak segampang itu nyarinya. Belum tentu beberapa bulan ke depan akan dapet juga. Jadi, saya keliaran di kampus itu jadi pertanyaan juga, sih. Kalo saya cerita tentang bisnis yang sedang saya usahakan bangun ulang, biasanya mereka (temen-temen si Tuan ini, yang sekarang jadi kenalan saya) juga bingung karena mereka kebanyakan latar-belakangnya bukan pebisnis. Jadinya keputusan saya buat ‘ngambil sebanyak-banyaknya fasilitas dari inkubator’ yang bisa saya ambil sebagai bantuan, di mereka itu enggak masuk akal.

Pertanyaannya jadi, “Why?”

Dan, jawaban saya hanya bisa, “Why not?”

Sementara di inkubator sendiri, yang kebanyakan isinya adalah mahasiswa postdoc yang lagi ngebisnisin riset dan generasi kedua yang udah lama tinggal di sini, saya juga aneh. Jadi, yah … sudahlah. Hahahaaa.

Saya suka ada di tengah orang-orang yang benar-benar berusaha dan kuatnya mereka berjuang sampai kayak gitu. Belum ketemu sama saya orang yang lembek dan banyak mengeluh. Jadinya saya juga enggak bisa mengeluh. Apanya juga gitu, kan, yang mau dikeluhkan? Kalau pusing dan suntuk … yaudah, ayo kita main board games seharian. Hahahaaa….

Saya suka hidup saya di sini, yaallah, dengan semua kemudahan dan kesulitannya. Saya suka orang-orang ini, saya suka bagaimana cara mereka melihat dan ngemenej hidup. Saya juga suka ngelihat mereka yang enggak punya victim mentality. Tapi, saya juga paham … mereka semua itu setidaknya melewati satu threshold yang sama; pinter dan kompeten. Setelah itu, baru permainannya naik ke level ini.

Gitu, deh, cerita hari ini….

Manteman mau ngapain hari ini?

Setelah suhu tinggi kemaren, hari ini bakalan cukup adem dan saya lagi mempertimbangkan buat enggak keluar rumah lagi karena saya lagi pengen duduk doang di meja saya seharian buat ngetik ini dan itu. Saya musti ngebuat dokumentasi dan manajemen yang tercatat dan terstruktur (hadeh, bahasanyaaa …) biar semua yang saya lagi bangun itu bentuknya jelas, ada catatan buat setiap bata yang saya susun. Gitu, sih….

Aaah…. Ngopi dulu.

Visited 34 times, 1 visit(s) today

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.