Haaai….

Hari ini saya ada kelas coaching di MQ Incubator (berikutnya saya singkat jadi MQI aja, ya) dan lima menit pertama saya ikutin dari iPad sambil bikin kopi.

Duluuu … saya pikir leadership itu semacam bakat, gitu. Trus leadership itu tentang ngatur dan ngurusin orang biar ikut dan nurut gitu sama maunya kita apaan. Ternyata enggak begitu. 😣

Hari ini saya enggak mau bahas leadership karena saya juga belum paham-paham amat. Saya mau bahas tentang kelelahan. Saya enggak tahu akan bahas lewat jalur mana, jadi tulisan ini sekalian saya pikir sambil saya tulis, ya.

Lelah Itu Nyata, Tapi Bukan Selalu Karena Kurang Tidur

Saya kerja 8–12 jam tiap hari, membangun sesuatu yang saya yakini. Namun ada hari-hari di mana saya bertanya dalam hati, “Saya kerja keras banget, tapi ini akan jadi apa?”

Ini bukan tentang burnout atau keinginan untuk menyerah. Saya tetap jalan, tetap ngerjain semuanya. Namun di balik semua itu, ada rasa penasaran; saya sebenarnya sedang menuju ke mana? Kadang saya cuma ingin menyusun deck atau bikin proposal tanpa harus mikir ini bakal dapat pendanaan atau enggak, saya cuma ingin melakukan, tanpa beban evaluasi terus-menerus. Enam bulan belakangan, yang saya lakukan di Poddium adalah; meruntuhkan semua rencana lama sampai tinggal kerangkanya aja. Bahkan, kerangka ini juga saya tumbuk sampai jadi halus untuk memahami DNA-nya.

Saya berhasil

Poddium udah enggak kayak dulu.

Saya punya rencana yang sangat berbeda dengan apa yang dulu saya kerjakan di Jakarta. Satu hal yang saya enggak antisipasi; meruntuhkan itu sama melelahkannya dengan membangun. Keduanya kata kerja. Keduanya saya suka. Keduanya bikin capek.

Capek … bukan karena benci kerjaannya. Justru karena terlalu niat.

Apa Itu Kelelahan Eksistensial?

Sebelum kita bahas lebih jauh, penting buat bedain dua jenis kelelahan; yang satu bisa diobati dengan tidur, yang satu lagi enggak semudah itu.

  • Kelelahan biologis atau kelelahan fisik. Bisa sembuh dengan istirahat, makanan, tidur.
  • Kelelahan eksistensial, muncul karena kesadaran lo sebagai manusia yang harus bikin makna, milih arah, dan nanggung semua risiko.

Manusia emang butuh makna buat bertahan. Bukan cuma biar semangat, tapi biar hidupnya bisa ditanggung. Bahkan hal kecil kayak bangun lebih pagi buat bikin kopi dan sarapan, atau ngulang playlist yang kita tahu bikin hati kita adem, itu semua tanda bahwa kita lagi nyari makna, dan itu valid.

Manusia dikutuk untuk bebas, katanya si Sartre.

Kita harus memilih, dan pilihan itu datang dengan tanggung jawab yang enggak bisa didelegasikan. Kadang justru di situ akar kelelahan eksistensial kita; saat kita menyadari bahwa kebebasan ini datang tanpa peta, tanpa jaminan, dan tanpa tempat untuk menyalahkan.

Kita harus terus memilih, terus bergerak, terus bertanya, dan di tengah itu semua, mencari makna yang cukup kuat untuk menahan beratnya kebebasan itu sendiri.

Kita capek bukan karena kerjaannya berat, tapi karena kita sadar; kita sendiri yang pasang target, kita sendiri yang harus bikin artinya.

Kesadaran bisa jadi anugerah atau beban paling besar.

Terjaga Tanpa Henti: Luka dari Kesadaran yang Terlalu Penuh

Modernitas bukan bikin kita lelah karena sibuk. Namun karena dituntut untuk sadar terus-menerus, tanpa arah yang jelas. Hari ini, kebanyakan orang (atau saya, ya) dituntut jadi:

  • Produktif (kerja keras)
  • Reflektif (penuh makna)
  • Autentik (harus jujur terus)
  • Konsisten (harus jalan terus)

… atau disingkat dengan PRAK! (Mau nge-jokes, tapi jadinya kriuk~) ╰(*°▽°*)╯

Saya bukan cuma mikir bisnis. Saya musti mikir value, dampak, branding, dan memastikan spiritualitas kerja align dengan spiritualitas agama. Bukan karena tren, tapi karena saya sadar kerja saya bagian dari jalan hidup yang lebih besar. Kesadaran yang datang belakangan dan membuat tambahan daftar panjang hal-hal yang musti saya sadari. 😣

Bahkan istirahat pun harus ‘berfaedah’; journaling, healing…. Di sosmed, saya bisa lihat orang posting ritual skincare kayak itu praktik spiritual, atau nulis, “Me time, tapi tetap growth-oriented.”

Dan, makin saya ‘sadar’, makin saya bingung … boleh enggak sih cuma ngerjain aja, tanpa overthinking?

Masuk ke Kesadaran: Dari Kontrol ke Penyerahan

Mungkin saya bukan kurang waras. Saya cuma terlalu yakin harus ngerti semuanya sekarang juga. <~ saya menyimpulkan hal ini ketika mengetik kalimatnya.

Apa-apa harus sekarang juga, apa-apa musti cepat. Huft. (┬┬﹏┬┬)

Kamu gitu juga enggak?

Di titik ini, filsafat Barat sering mentok di absurditas; ketika semua pencarian makna akhirnya kembali ke kehampaan. Namun dalam tradisi sufistik dan Taoisme, kita menemukan arah yang lebih jernih dan lembut. Di kedua tradisi ini, kita diajak untuk tetap berkarya, tetap berbuat, tapi dengan kesadaran bahwa kita bukan pusat semesta. Kita bukan pemilik hasil.

Al-Ghazali pernah bilang, “Keletihan itu datang saat hati lo ngotot narik realitas sesuai mau lo.”

Saya tahu Al-Ghazali enggak ngomong ‘lo-gue’, tapi saya nulis gitu biar berasa doi lagi ngomong sama saya gitu. ╰(*°▽°*)╯

Dalam Taoisme, ini sejalan dengan konsep wu wei; bertindak tanpa paksaan, membiarkan diri mengalir bersama ritme semesta. Di sini, kesadaran bukan sekadar berpikir lebih dalam, tapi mengenali waktu ketika kita perlu berhenti mengendalikan dan menyerahkan hasil pada yang Tuhan.

Modernitas* sering kali memaksa kita untuk percaya bahwa semua hal bisa dan harus dikendalikan, bahwa hidup ideal adalah hidup yang ditata rapi sesuai rencana, target, dan to-do list. Namun semakin kita ngotot narik realitas agar sesuai dengan blueprint kita sendiri, semakin cepat kita lelah. Karena dunia enggak pernah tunduk penuh pada kehendak individu. Dalam titik inilah, ajakan untuk melepas kontrol bukan lagi tanda kekalahan, tapi bentuk tertinggi dari kebijaksanaan.

Makna, dalam pengertian ini, bukan sesuatu yang harus terus-menerus dikejar dan dipahami dengan logika. Namun sesuatu yang muncul justru ketika kita berhenti mengklaim bahwa semuanya harus bisa dijelaskan dan diatur oleh kita sendiri.

(*Dalam konteks tulisan ini, modernitas merujuk pada kondisi sosial, budaya, dan psikologis yang dibentuk oleh cara hidup zaman modern yang ditandai oleh rasionalitas, individualisme, produktivitas, dan keyakinan bahwa semua hal bisa diatur, direncanakan, dan dikendalikan. Modernitas menciptakan tekanan untuk selalu sadar, reflektif, dan efisien, tapi sering kali lupa memberi ruang untuk ketakterdugaan, ketidaktahuan, dan penyerahan diri.)

Jadi, Istirahat Itu Harusnya Gimana?

Istirahat enggak harus rebahan atau cuti panjang. Kadang cuma butuh duduk tenang dan sadar kalo kita bukan pusat semesta. Istirahat bukan berarti berhenti dari kerja, tapi berhenti dari ambisi untuk mengontrol segalanya. Ada bentuk istirahat aktif dan pasif. Ada yang recharge lewat baca, nulis, atau bahkan ngegambar pakai cat air. Semua itu cara yang bisa kita pilih untuk melepas beban.

Tradisi sufistik dan Tao sama-sama ngajarin; lepasin kontrol, biar semesta bantu. Istirahat dalam pengertian ini bukan tentang kemalasan, tapi tentang harmoni. Filsafat istirahat enggak bilang kita harus pasif, tapi mengajak kita sadar; ada waktu di mana tidak melakukan apa-apa justru jadi bentuk kesadaran paling penuh.

Kadang yang kita butuh bukan libur, tapi berhenti ngerasa kita harus mikirin semuanya sendirian. Gitu, lah, gampangnya.

Niat, Amal, dan Kesadaran

Mungkin niat perlu direvisi…. <~ saya sampai ke kesimpulan ini karena semua emang berawal dari niat, kan.

Revisi niat bukan soal mengulang afirmasi positif yang kita hafal setiap pagi, tapi tentang keberanian untuk jujur; kita sebenarnya kerja buat siapa? Kita berharap ke siapa?

Selama ini, banyak dari kita menaruh semua beban ke kepala, mikirin skenario, memetakan risiko, menakar peluang. Wajar kalau akhirnya kita goyah. Namun di saat kita sadar bahwa kerja adalah bagian dari jalan menjadi manusia, bukan tempat kita menuntaskan semua jawaban, kita bisa bernapas lebih lega. Bukan karena kita menyerah, tapi karena kita mulai paham bahwa kita bukan pusat semesta. Ada keterbatasan peran yang harus diterima dengan rendah hati.

Contohnya bisa kita lihat dari Andy di The Devil Wears Prada (entah mengapa film ini yang keingetan sama saya, hadeh). Dia enggak pernah benci kerjanya, bahkan dia jago dan bersinar di sana. Namun makin tinggi dia naik, makin dia sadar ada yang hilang. Bukan waktu, bukan tenaga, tapi … arah. Dia mulai bertanya: “Ini semua bakal bawa gue ke mana?” Pertanyaan itu enggak muncul karena dia lemah, tapi karena dia sadar; sesuatu yang kelihatannya benar pun bisa terasa hampa kalau kehilangan makna.

Di momen reflektif itulah dia berkata, “But what if this isn’t what I want?” Sebuah kalimat sederhana yang cukup banget buat mengobrak-abrik semua pemahaman tentang semua yang sedang dikejar dan dikerjakan. Jawabannya bisa jadi adalah kesadaran. Kesadaran tentang diri kita yang bukan datang untuk berkeras mengendalikan semuanya, tapi tahu kapan harus berhenti ngotot.

Kadang (lagi) titik terang datang bukan dari kemenangan, tapi dari keberanian untuk berhenti, mengatur ulang arah, dan bilang ke diri sendiri; gue udah cukup jalan. Sekarang waktunya lihat ulang peta.

Lelah Itu Boleh, Tapi Jangan Sendirian

… trus sama siapa gitu kalo jangan sendirian? (┬┬﹏┬┬)

Bentar … bentar. Lanjut bahas kesadaran dulu.

Kesadaran bukan solusi instan, tapi bisa jadi penopang agar kita enggak terus-menerus nyeret semua beban sendirian. Kadang, yang kita butuh bukan break panjang atau liburan mahal, tapi rekalibrasi posisi; menyadari bahwa kita bukan pusat semesta, hanya bagian kecil dari sistem yang lebih besar.

Dalam QS. Luqman ayat 18, ada nasihat sederhana: “Berjalanlah di bumi dengan rendah hati.” Ini bukan cuma nyuruh kamu buat kagak sombong, tapi juga tahu posisi; tahu kapan harus jalan, kapan harus diam, dan kapan cukup menyerahkan hasilnya.

Kita tetap jalan. Tetap kerja. Tetap ambisius. Namun kini dengan kesadaran bahwa kita enggak harus menggenggam semuanya. Enggak semua target harus dikejar dalam satu waktu, enggak semua masalah harus diselesaikan hari ini juga. Kadang yang paling bijak justru bukan mempercepat, tapi memperlambat biar semesta punya ruang untuk ikut bekerja. Biar kita juga punya ruang untuk melihat ulang semua dari jarak aman. Namun, nasehat ini bukan buat ngebilangin kamu kalo kamu bisa procrast seenaknya, ya.

Dan, kalau pertanyaan itu datang lagi, seperti di awal: “Ini semua akan jadi apa?”

Mungkin sekarang kita bisa menjawabnya tanpa panik dan penuh kesadaran, “Gue enggak tahu, tapi gue udah dan akan selalu hadir buat jadi bagian dari prosesnya.”

(Ciyeeeh … si Octa bijak banget hua-hua-huaaa!) ☆*: .。. o(≧▽≦)o .。.:*☆

Enggak semua lelah harus dihindari. Kadang, kita tinggal duduk sebentar, nyadar, dan bilang ke diri sendiri; gue udah hadir dan berusaha, sekarang biarin semesta kerja juga.

Jadi, kalau dirangkum; kita capek bukan cuma karena kerjaannya, tapi karena kita bawa seluruh semesta ke pundak sendiri. Kita enggak cuma cari uang, tapi makna hidup. Kita enggak cuma bikin slide, tapi juga nyari siapa diri kita di antara to-do list dan notifikasi. Di tengah modernitas yang terobsesi dengan kontrol, kita lupa; hidup enggak harus selalu masuk akal atau sesuai rencana.

Ternyata, solusi bukan selalu cuti atau ganti kerja. Kadang kita cuma perlu sadar: kita bukan pusat semesta. Kita boleh ambisius, tapi enggak harus jadi Tuhan. Kita boleh punya rencana, tapi tetap kasih ruang buat Allah ikut campur tangan.

Dan, pada akhirnya? Mungkin semua tulisan ini adalah cara Allah bilang: “Beb, yang lo cari dari tadi lewat tulisan panjang lo yang penuh bacot ini, namanya … tawakkal.”

Si Octa udah muter-muter bahas eksistensialisme, wu wei, dan Al-Ghazali cuma buat sampai ke titik yang Emak-emak kita udah bilang dari dulu:

“Udah, Nak … yang penting usahanya maksimal, sisanya serahin sama Allah.” 😌

* * *

Udah Rabu, nih, Mantemaaan~

Apa kabaaar? Ada cerita apaaa?

Visited 59 times, 1 visit(s) today

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.