Di era penuh scroll, notifikasi, dan hiburan instan, kita semua jadi saksi dari epidemi sunyi: brain rot. Otak kita kenyang, tapi lelah. Informasi datang deras, tapi esensinya nihil. Kita tahu segalanya, tapi merasa tidak tahu kenapa kita hidup hari ini.

Lalu, muncul film seperti SORE: Istri dari Masa Depan dan Jumbo. Dua karya yang tiba-tiba bikin orang berhenti scroll–walopun sebentar doang. Duduk. Lalu, diam. Karena di balik sinematografi dan narasi, ada yang lebih dalam; makna.

Mungkin itulah yang sedang kita cari. Bukan sekadar cerita doang, tapi sesuatu yang bisa kita jadiin pegangan di tengah hidup yang makin absurd. Semakin berat hidup, semakin berat pula makna yang harus menyertainya. Kalau tidak, kita cuma manusia yang tertawa kosong di tengah bencana.

***

Semalam, sebelum tidur, saya scroll sosmed sebentar. Sekarang saya cuma punya Thread dan IG. Saya bawel di sana walopun kadang suka sebel juga kalo ada orang (atau akun, ya) yang reply sembarangan, enggak baca main komen-komen aja jadinya enggak nyambung. Itu, kan, bikin kesel, ya…. Tapi saya paham, banyak orang yang enggak didenger di luar sana, yang enggak punya temen bicara, yang enggak tahu mau bicara apa, yang enggak tahu harus gimana biar tahu bisa bicara apa.

Trus … saya jadi pengen cepet tidur biar besok bisa bangun lebih pagi, nyalain PC lebih awal, jadi saya bisa punya waktu lebih panjang buat baca dan nonton ini-itu, abis itu saya bisa nulis di blog ini. Bukan karena saya pengen didengar, tapi karena saya pengen baca, mikir, dan nulis.

Biar enggak brain rot, kalo mau pakai istilah sekarang. Kalo tulisan saya salah, jelek, enggak bener … yaudah, berikutnya dibenerin. Yang penting baca dulu, mikir dulu, dan nulis dulu biar terbiasa (lagi).

Kita bahas mulai dari brain rot, deh…. (❁´◡`❁)

***

Brain Rot: Ketika Otak Mati Bukan Karena Kurang, Tapi Karena Kebanyakan

Brain rot bukan hanya soal overstimulasi, melainkan tentang saturasi tanpa substansi. Atau bahasa gampangnya; banyak yang dilihat atau dibaca tapi enggak dipahami. Kita tahu banyak hal secara permukaan, tapi tak ada yang melekat. Atensi menyebar, fokus menguap, dan yang tersisa hanyalah kelelahan yang enggak bisa dijelaskan. Di media sosial, istilah ini sering dipakai untuk menggambarkan kondisi kehilangan konsentrasi, penurunan kognitif, dan rasa hampa akibat paparan konten cepat dan dangkal.

Saya nyari tahu dan ternyata fenomena ini bukan sekadar keadaan yang baru muncul di era digital. Bahkan di zaman Yunani kuno, keriuhan budaya populer sudah dikhawatirkan oleh para filsuf.

Misalnya si Plato (427–347 SM), sangat menentang seni dan puisi populer karena dianggap bisa merusak pikiran.

“Poets gratify the irrational parts of the soul, leading it away from reason.”

Ini pernyataan yang akan bikin pujangga maramara. 😣

Si Plato mengusulkan penyensoran terhadap drama dan puisi karena karya seperti Homer dianggap membangkitkan emosi destruktif. Doi mencurigai bahwa keriuhan emosional dalam seni membiasakan manusia pada reaksi instan, bukan pemikiran rasional. Dia, mah, kayaknya mau mikir muluk…. (┬┬﹏┬┬)

Si Socrates (470–399 SM) menolak tulisan sebagai bentuk inferior dari pengetahuan.

“Writing gives not truth, but only the appearance of truth.” <~ ‘writing’ dalam konteks omongan dia ini adalah penulisan ide karena jaman itu, menghapal dianggap lebih oke karena artinya kamu paham dan idenya ada dan kesimpen di otak kamu, literally.

Dalam Phaedrus, Socrates mengkritik tulisan karena membuat orang tampak tahu padahal sebenarnya enggak memahami. Ini serupa dengan konsumsi konten hari ini; banyak tahu, tapi enggak mengerti. Jangan-jangan tulisan saya ini kayak begitu, ya…. ╰(*°▽°*)╯

Kedua filsuf itu sama; maunya orang mikir, enggak cuma pura-pura mikir. Tapi, kalo hidup udah berat, seharian di suruh mikir, pas lagi santai … maunya nyari hiburan, dong.

Beberapa tahun lalu, saya baca Byung-Chul Han yang The Burnout Society. Doi ini filsuf jaman now. Yang dibahas kebanyakan adalah hal-hal yang emang deket sama kehidupan kita, salah satunya tentang burnout.

Dia bilang bahwa zaman sekarang bikin kita capek banget, bukan karena ada yang maksa dari luar, tapi karena kita sendiri enggak berhenti nyuruh diri buat terus produktif, terus positif, terus jadi versi terbaik diri sendiri. Toxic positivity itu yaaa … beneran toksik. Dulu, katanya, kita hidup di masyarakat disiplin; ada aturan, ada larangan. Kita tinggal ikutin aja, udah. Sekarang, kita hidup di masyarakat prestasi, di mana kita ngerasa harus selalu bisa, harus selalu sukses. Capeknya bukan karena dimarahin, tapi karena enggak pernah ngasih diri sendiri waktu buat berhenti, buat mikir, buat ngerasa. Makanya, kelelahan itu bukan cuma fisik, tapi juga eksistensial, karena kita kehabisan ruang buat nyari makna.

Kata ‘makna’ ini udah keluar beberapa kali. Jadi, kita pindah ke situ dulu.

***

Apa Itu Makna?

Makna itu bukan cuma informasi atau sekadar emosi. Makna muncul waktu kita ngaitin kejadian dengan nilai atau tujuan hidup kita. Jadi bukan soal ‘apa yang terjadi’, tapi juga ‘kenapa itu penting buat kita’. Makna bisa jadi soal hubungan antara simbol dan dunia, kayak huruf A berarti apa gitu di kamu. Tapi di sisi lain, makna juga bisa lebih personal; kenapa satu lagu, satu film, atau satu momen bisa menyentuh banget.

Viktor Frankl bilang, manusia bisa tahan dalam penderitaan paling parah sekalipun, asal dia punya makna. Nietzsche nambahin, “Orang yang punya alasan buat hidup, bisa bertahan menghadapi apa pun.”

Kalau dilihat dari kacamata eksistensial, makna bukan sesuatu yang langsung dikasih begitu aja. Dia bukan hadiah, tapi hasil yang dibentuk lewat pilihan-pilihan, dijalani lewat hidup sehari-hari. Kita enggak nemuin makna kayak nemuin koin di jalan, tapi lebih kayak ngebentuk pola dari serpihan-serpihan pengalaman.

Di dunia sufi, makna itu enggak cuma soal mikir. Dia hadir lewat ma‘rifa, yaitu pengetahuan batin yang datang dari pengalaman langsung, dari hati yang bening dan memahami pengalaman secara jernih.

Ada istilah kashf, yang artinya tersingkap. Makna muncul saat ‘tirai’ dunia terbuka, biasanya setelah proses panjang nyuciin hati, nahan ego, dan diem dalam sunyi. Terus ada fana, yaitu kondisi di mana diri udah enggak nempel lagi sama ego. Ketika kita udah lepas dari rasa ‘aku’, makna enggak lagi jadi konsep. Dia jadi pengalaman. Bukan hal yang kita pikirin doang, tapi yang kita rasain, kita jadiin pegangan hidup.

Makna, buat para sufi, bukan soal ngerti doang, tapi soal hadir. Bukan sekadar tahu, tapi benar-benar menyaksikan. Bukan konsep, tapi pengalaman batin. Sekarang kamu jadinya paham, kan, kenapa Rasullulah memilih untuk menyepi (ber-tahannuts) di Gua Hira atau kenapa di akhir Ramadan kamu ber-i’tikaf.

***

Kenapa Akal, Bukan Emosi, yang Nyusun Makna?

Makna itu enggak lahir dari perasaan aja. Perasaan bisa meledak, bisa tenggelam, tapi makna butuh waktu dan susunan. Perlu refleksi. Perlu benang merah.

Emosi emang bisa jadi pemicu, sih … kayak sedih atau marah yang bikin kita mikir lebih dalam. Tapi, yang ngerakit semua kepingan itu jadi narasi, ya akal. Kamu musti mikirin itu. Akal yang bantu kita ngerti hubungan sebab-akibat, narik garis dari masa lalu ke sekarang, dan lihat makna di balik yang nyakitin.

Banyak makna hidup justru muncul dari hal-hal yang ingin kita hindari; patah, gagal, kehilangan. Emosi pengen kabur, tapi akal ngajak duduk, diam, mikir, lalu paham.

Dalam filsafat dan sufisme, akal itu bukan cuma logika kering. Dia alat untuk menyaring ilusi, melihat pola, dan bantu kita menembus keruwetan dunia. Emosi tetap penting, tapi tanpa akal, kita gampang hanyut. Sebaliknya, akal tanpa hati? Kering. Makna butuh keduanya, tapi yang nyusun jembatannya, tetap si akal ini.

***

Makna: Penangkal Radikal dalam Dunia yang Terlalu Cepat

Makna itu enggak muncul dari geser-geser layar. Bukan sesuatu yang bisa kamu temukan sambil scrolling cepet. Dia muncul pelan dalam jeda, dalam pertanyaan, dalam hening.

Makna enggak bisa diproduksi massal kayak konten. Dia butuh baca pelan, duduk diam dan mikir, nanya lagi dan terus nanya lagi. Kadang dia datang pas kita dengerin hal-hal yang enggak diucap, atau pas kita mandangin sesuatu lebih dari lima detik.

Makna bukan cuma soal apa, tapi soal kenapa. Dan, buat bisa nyampe ke sana, kamu harus berani keluar dari mode konsumsi, masuk ke mode kontemplasi.

Kemaren (atau sampe sekarang kayaknya masih, ya) film SORE: Istri dari Masa Depan tayang, sosmed rame banget. Banyak yang jadi mellow, banyak juga yang tiba-tiba mikir. Padahal ceritanya simpel; cewek dari masa depan datang buat nyelametin pasangan hidupnya. Yang bikin nancep justru cara film ini ngomongin cinta, kehilangan, dan pengorbanan. Pelan, sunyi, tapi dalem banget.

Sama kayak Jumbo, animasi Indonesia tentang Don, anak yatim bertubuh besar yang sering dipanggil ‘Jumbo’ dan ngerasa enggak dianggap. Ceritanya bukan sekadar petualangan, tapi juga tentang rasa kehilangan, harga diri, dan gimana dia belajar buat berani berdiri sendiri. Yang bikin nyentuh, justru momen-momen sunyi dan luka batin yang perlahan dikupas. Film ini viral bukan karena plot twist atau sensasi, tapi karena nyampein emosi yang real banget.

Dari dua film ini, kita ngelihat hal yang jarang; penonton mikir. Obrolannya bukan soal aktor favorit, tapi soal cinta yang tulus, luka yang enggak kelihatan, dan gimana rasanya ikhlas. Filmnya enggak buat kabur dari kenyataan, tapi justru ngajak kita masuk lebih dalam.

Tiap kali hidup terasa bising, ada satu lagu yang selalu bisa saya jadikan jangkar: Present Tense dari Radiohead. Versi live-nya itu, duh … pelan, lembut, dan somehow bikin dunia yang ribut jadi sedikit lebih sunyi. Buat sebagian orang (termasuk saya) lagu ini jadi semacam alat regulasi emosi. Ngingetin kita buat pelan. Buat hadir.

Liriknya enggak ribet. Enggak cerita soal plot besar. Tapi justru di situlah kekuatannya; tentang keberadaan, tentang bertahan di tengah kabut, tentang enggak lari ke mana-mana walau semuanya enggak jelas.

In you, I’m lost
I won’t turn around or the penny drops
Won’t stop now, won’t slack off
Or all this love will be in vain

Sama kayak SORE dan Jumbo, lagu ini enggak menawarkan pelarian, tapi justru ruang yang luang. Buat mikir, buat ngerasain, buat diem. Di tengah algoritma yang bikin kita pengin swipe terus, konten-konten kayak gini, tuh, langka. Mungkin, karena langka, makanya jadi berharga.

Saya ngasih contoh dua film dan satu lagu ini untuk nge-negasi apa yang dikatakan oleh Plato dan Socrates di atas; bahwa pop culture juga bisa ngebuat kita berhenti sebentar dan mikir. Jadi, sebenernya bukan tentang apa yang jadi objek materialnya (film, lagu, dan lainnya), tapi abis itu kamu mikir apa enggak.

***

Makna sebagai Antidote, Bukan Sekadar Hiburan

Dalam dunia yang menghargai kecepatan, memilih untuk melambat adalah bentuk pemberontakan. Ketika algoritma mendorong impresi, memilih makna adalah bentuk perlawanan. Makna tidak dilayani oleh sistem. Ia ditumbuhkan secara personal; perlahan dan dalam.

Makna menyembuhkan bukan karena dia menyenangkan, tapi karena dia mengingatkan bahwa kita masih hidup. Bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar tahu. Bahwa di tengah kelelahan, kita masih bisa menemukan yang membuat hidup layak dijalani.

Mungkin itulah sebabnya orang kembali ke film, puisi, lukisan, dan suara hati mereka. Karena satu hal yang tidak bisa diberikan oleh konten cepat adalah kesadaran bahwa kita masih memiliki jiwa. Jadi jika kamu merasa penuh tapi kosong, mungkin yang kamu butuhkan bukan konten baru, tapi makna baru. Bukan lebih banyak informasi, tapi lebih banyak perenungan. Bukan stimulasi, tapi eksistensi.

Dan semua itu dimulai dari satu tindakan radikal:

Duduk. Diam. Dengarkan dan pahami dunia tanpa buru-buru.

Itulah awal dari penyembuhan otakmu.

***

Huft. Bisa juga saya nulis tentang ini. ╰(*°▽°*)╯

Beberapa waktu belakangan, saya memilih buat melambat. Salah satu cara untuk melambatkan semuanya adalah dengan mengurangi konsumsi konten pendek. Saya enggak install TikTok dan lebih banyak mendengarkan podcast panjang atau ngebaca tulisan longform. Kalo saya bosan, saya memilih buat main games aja. Saya suka city building dan simulation games yang lambat, musti dipikirin langkah dan keputusannya, dan saya bisa enjoy grafisnya.

Paradoks dari melambat ini adalah; saya jadi lebih cepat. Ini pengen banget saya jelasin tapi saya enggak (atau belum mampu, ya) ngejelasinnya dengan masuk akal.

Jadi, segini dulu.

Besok kita ketemu lagi? (❁´◡`❁)

***

Visited 48 times, 1 visit(s) today

2 Comments

  1. Hening Appleyard July 17, 2025 at 6:16 PM

    Tulisan yang bermakna dan insightful. Terimakasih sudah berbagi sudut pandang yang dalam dan menyentuh dan mengajak berpikir. Keep on inspiring 👍🏻🙏🏻🥰

    Reply
    1. Octaviani Nurhasanah - Site Author July 17, 2025 at 7:08 PM

      Masama, Mbak Hening.

      Mbak Hening, apa ada rencana bikin blog juga? Sekarang ini yang rutin aku dateingin cuma blog Mbak Shelorina. ^^

      Reply

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.