Saya menerjemahkan Metamorphosis Franz Kafka beberapa pekan lalu. Sebelumnya, saya ngebaca novela itu buat kali pertama. Saya enggak suka kecoak walopun enggak jijik-jijik amat, sih. Cuma yang namanya kecoak, kan … yaaa begitu itu. Nyebelin.

Saya menikmati proses membacanya tetapi agak kesulitan ketika menerjemahkannya. Bahasa Inggrisnya enggak terlalu susah, yang bikin saya lambat mengerjakannya; karena saya enggak paham dengan kondisi Gregor, cowok yang jadi kecoak itu. Sambil nerjemahin, saya sambil mikir kalo bisa jadi ini bukan tentang kecoak. Bisa jadi ini tentang kelelahan yang berujung jadi trauma.
Kafka enggak pernah bilang Gregor mati, tetapi dari detik itu, Gregor hilang sebagai manusia dan muncul ulang sebagai entitas asing. Dia dikurung, disembunyikan, orang semua pada takut dan jijik, terus akhirnya … dibiarkan mati.
Kayak hantu, dia tetap tinggal di rumah, tetapi enggak dianggap ada. Kayak trauma, dia diam-diam mengubah seluruh ritme keluarga. Mungkin Gregor bukan berubah jadi kecoak, dia berubah jadi wujud dari luka yang enggak mau dilihat. Dia udah jadi hantu, sejak pagi itu.
Sebelum saya lanjut, Metamorphosis ada di Librery dan bisa dibaca dan diunduh dengan gratis. Yang berbahasa Inggris bisa diunduh di sini dan yang berbahasa Indonesia, bisa diunduh di sini.


Kecoak Gregor (atau Gregor sebagai kecoak) adalah luka yang disingkirkan. Ia gentayangan di rumah sendiri; hadir, tetapi tidak dianggap. Bukan makhluk gaib, melainkan kesakitan yang dipinggirkan dan perlahan menjadi beban kolektif.
Kalau manusia bisa berubah menjadi hantu, bentuknya bukan kain putih. Ia muncul sebagai perasaan yang disembunyikan, disangkal, atau tidak sempat diberi nama.
Kisah Gregor memberi petunjuk penting; luka yang ditolak tidak hilang. Ia terus hidup di dalam sistem, diam-diam memengaruhi segalanya. Dan sistem itu, kadang, adalah kepala lo sendiri.
Apa Itu Ekologi Hantu?
Dalam banyak kepercayaan dan cerita rakyat, hantu tidak muncul secara sembarangan. Mereka mendiami tempat-tempat tertentu karena kondisi di sana dirasa cocok secara spiritual dan emosional.
Konsep ini dikenal sebagai ekologi spiritual, yaitu sistem lingkungan tempat makhluk halus ‘tinggal’ dan berinteraksi dengan dunia manusia. Mereka memerlukan habitat yang tepat; tempat, suasana, dan energi yang sesuai.
Misalnya, kuntilanak sering diasosiasikan dengan pohon besar yang dianggap sakral sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur. Leak muncul di malam hari karena malam dipercaya sebagai waktu ketika energi negatif lebih kuat. Rumah kosong dan lorong gelap pun kerap menjadi zona transisi antara dunia fisik dan dunia metafisik.
Namun, ekologi hantu tidak melulu soal lokasi geografis. Ia juga menyentuh lanskap emosional manusia. Di mana ada luka yang belum selesai, di situ hantu bisa tumbuh.

Photo by Drew Tilk on Unsplash
Otak Juga Habitat Hantu
Sama seperti hantu yang senang tinggal di ruang kotor, atau pocong yang sering muncul di tempat sakral yang sudah dilupakan, hantu batin pun memiliki habitat favorit dan tempat itu ada di dalam kepala kita sendiri.
Secara psikologis, ada pola yang sejalan dengan cara kerja ekologi hantu. Pikiran negatif cenderung muncul dan tumbuh subur saat kita sedang sendirian, ketika logika sedang lemah dan tidak mampu menahan arus kekacauan internal. Luka lama yang tampaknya sudah hilang bisa tiba-tiba muncul kembali ketika kondisi fisik kita menurun, seolah tubuh yang lelah menjadi pintu masuk bagi emosi yang terpendam. Rasa gagal atau kesepian pun sering datang di malam hari, saat pertahanan psikologis kita sedang paling rapuh.
Dalam konteks ini, hantu batin bukanlah makhluk gaib, melainkan emosi-emosi yang tertinggal dan belum selesai diproses. Otak kita menyediakan ruang bagi mereka untuk tetap hidup—sebuah habitat emosional tempat mereka terus berdiam, gentayangan dalam bentuk kecemasan, penyesalan, atau rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar hilang.
Ekosistem Spiritual di Dalam Diri Kita
Bayangkan diri kita seperti sebuah rumah besar.
Di dalam rumah ini, ada ruang-ruang terang, tempat kita menyimpan rasa percaya diri, keberhasilan, dan momen-momen yang bikin kita bangga. Di sana, kita merasa utuh dan diterima. Namun di sudut lain, ada ruang-ruang gelap, lembab, dan mungkin jarang dibersihkan. Di sinilah kita menyembunyikan rasa bersalah, malu, takut, dan hal-hal yang enggak ingin kita hadapi.
Hantu dalam diri kita enggak datang begitu saja. Mereka tumbuh dari kenangan yang kita hindari, emosi yang kita tekan, dan pengalaman menyakitkan yang belum pernah benar-benar kita proses. Setiap kali kita menolak melihat luka itu, kita justru memberi ruang bagi mereka untuk tinggal. Semakin lama kita membiarkannya tersembunyi, semakin kuat kehadirannya.
Semua ini menciptakan tanah subur di dalam kepala kita; lanskap emosional tempat entitas-entitas internal bisa gentayangan. Bukan sebagai sosok menyeramkan, tapi sebagai pikiran yang menghantui, rasa yang terus muncul, dan energi yang menguras kekuatan kita diam-diam.

Photo by Šimom Caban on Unsplash
Hantu sebagai Energi Beku (Frozen Affect)
Dalam teori afek (affect theory) dan psikoanalisis, emosi yang tidak diekspresikan atau diproses secara tuntas bisa mengalami pembekuan. Emosi ini tidak lenyap, melainkan membeku di dalam tubuh dan pikiran, lalu muncul dalam bentuk yang enggak kita sadari.
Freud memperkenalkan ide bahwa emosi yang ditekan (repressed affect) enggak hilang, tapi justru mengendap di alam bawah sadar dan muncul dalam bentuk gejala; mimpi, fobia, histeria, atau gangguan psikosomatik. Lacan memperluas ini dengan mengatakan bahwa trauma dan afek yang tidak terungkap bisa mengganggu struktur simbolik seseorang (alias cara kita membangun makna dan relasi).
Wujudnya bisa bermacam-macam. Misalnya, insomnia yang datang tanpa sebab jelas, nyeri psikosomatik yang enggak ditemukan asal medisnya, atau ledakan emosi tiba-tiba yang terasa ‘berlebihan’ dibandingkan pemicunya. Ini bukan reaksi spontan, tapi akumulasi emosi yang selama ini tertahan.
Dalam konteks ini, hantu internal bukan makhluk gaib, tapi sisa emosi yang belum punya jalan keluar. Contohnya, kita merasa cemas setiap kali melewati lokasi tertentu, tapi enggak tahu kenapa. Atau kita berulang kali mimpi buruk dengan simbol yang sama, seolah ada pesan yang belum selesai disampaikan.
Semua itu bukan hal mistis, melainkan bentuk energi emosional yang nyangkut—menunggu untuk dikenali, dipahami, dan dilepaskan.
Kenapa Hantu di Kepala Kita Enggak Mau Pergi?
Sama seperti hantu yang butuh tempat untuk tinggal, luka emosional juga membentuk ekosistemnya sendiri, lanskap batin yang subur untuk kemunculan entitas-entitas batin yang gentayangan. Lingkungan batin kita menyediakan habitat itu. Tanahnya adalah ingatan yang tak pernah dibereskan. Udara lembapnya adalah emosi yang dipendam terlalu lama. Dan gangguan dari luar (seperti stres, kehilangan, atau konflik) berperan seperti musim hujan yang memicu kehidupan laten di dalamnya.
Siklusnya berjalan berulang. Kita membawa rasa yang belum selesai ke dalam situasi baru yang mirip. Saat situasi itu muncul, memori lama yang tersimpan aktif kembali, kadang tanpa kita sadari. Kita bisa merasa marah, takut, atau sedih tanpa tahu persis apa penyebabnya. Itulah cara hantu emosional bekerja; diam-diam menyelinap dan menumpuk, lalu muncul saat pertahanan kita lemah.
Hantu batin bukan pertanda kita lemah dari sananya, tetapi tanda bahwa ada bagian dari diri yang masih minta dilihat dan dikenali. Selama bagian itu diabaikan, siklus ini akan terus berulang.

Photo by Šimom Caban on Unsplash
Lokasi Angker Tempat Hantu di Otak Kita Bergentayangan
Di dalam sistem saraf kita, ada wilayah-wilayah yang bisa dibilang angker, tempat di mana kenangan emosional, ketakutan, dan pengalaman lama bersembunyi dan bisa ‘bangkit’ kapan saja.
- Amigdala menyimpan jejak ketakutan dan memori emosional yang intens.
- Hipokampus mencatat narasi tentang siapa kita, termasuk pengalaman menyakitkan yang belum selesai.
- Prefrontal cortex bertugas merasionalisasi dan meredam impuls emosional, tapi gampang melemah saat kita stres atau kelelahan.
Saat prefrontal cortex lelah atau terlalu banyak beban, amigdala bisa mengambil kendali. Di momen itu, rasa takut atau cemas yang tampaknya muncul tiba-tiba, sebenarnya adalah ‘hantu’ emosional dari masa lalu yang kembali menghuni kesadaran kita.
Mereka tidak muncul begitu saja. Mereka tinggal di dalam. Kita hanya sedang memasuki ruangnya.
Hantunya Juga Suka Cekikikan Sendiri
Suara-suara ini terdengar akrab?
“Kamu enggak cukup pintar.”
“Kamu pasti gagal.”
“Kamu enggak layak dicintai.”
Bisa jadi itu bukan suara asli kita. Itu gema lama; berasal dari orang tua, guru, lingkungan, atau pengalaman buruk yang pernah tertanam dan belum dibereskan.
Hari ini, bentuk hantu juga ikut berevolusi. Mereka enggak lagi muncul di malam hari, tetapi hadir lewat notifikasi dan algoritma:
- FOMO dari Instagram;
- Kecemasan karier dari LinkedIn;
- Rasa enggak cukup dari TikTok.
Mereka enggak perlu gentayangan secara harfiah. Mereka cukup terus cekikikan di kepala kita, mengulang bisikan lama dalam bentuk baru.
Hantu Jangan Diusir, Tetapi Dipulangkan
Dalam banyak budaya, ritual pengusiran hantu bukan dimaksudkan untuk menghilangkan, tetapi untuk memulangkan. Bukan buat menghapus jejak mereka, tetapi menyelesaikan cerita yang tertunda.
Konsep ini punya padanan dalam psikologi; emosi yang diproses adalah hantu yang pulang.
Mendengarkan perasaan bisa jadi bentuk ritual modern. Caranya bisa macam-macam; menulis jurnal tentang rasa yang terpendam, bermeditasi sambil mengakui apa yang muncul, atau bicara jujur sama orang yang kita percaya.
Buat banyak orang, ibadah juga jadi bagian penting dalam proses penyembuhan. Salat jadi ruang refleksi yang bantu menenangkan sistem saraf. Mengaji membantu membersihkan pikiran dari lintasan-lintasan negatif. Zikir dan doa menjaga batin tetap terang, biar enggak lembap dan kotor, karena di situlah biasanya hantu-hantu batin senang tinggal.
Hantu dalam diri enggak akan pergi dengan diteriaki. Mereka butuh disambut, didengar, dan diantar pulang. Dan rumah kita (pikiran dan batin) perlu dibereskan supaya mereka enggak betah lagi gentayangan.
Luka Itu Enggak Hilang, Tetapi Bisa Pulang
Hantu dalam diri enggak datang untuk menakut-nakuti. Mereka hadir untuk diakui keberadaannya. Dan kadang, satu-satunya yang mereka tunggu adalah keberanian kita buat bertanya:
Siapa yang sedang berjalan pelan-pelan, bergentayangan, di pikiran kita malam ini?
Ke mana seharusnya dia kita pulangkan?
***
Tulisan ini awalnya adalah puisi yang isinya tentang hantu yang bergentayangan di kepala saya. Lalu, satu bait jadi satu paragraf, satu paragraf jadi satu jam googling tentang analogi hantu pikiran dalam psikologi … dan, berakhir jadi tulisan panjang. Huft. Puisinya pun dibatalkan.