Kadang kita punya keinginan yang muncul tiba-tiba. Kita sendiri enggak tahu datangnya dari mana, tetapi rasanya nempel. Enggak pergi-pergi. Jadi kayak keinginan terpendam atau mimpi yang enggak pernah pudar…. #ciyeh

Photo by Shakib Uzzaman on Unsplash

Titik-Titik yang Diam-diam Membentuk

Sejak kecil, saya suka baca dan ingin jadi penulis. Lalu, entah kenapa, saya punya keinginan aneh sejak lima belas tahun yang lalu; bikin platform kepenulisan buat umum. Bukan blog pribadi, tapi sesuatu yang bisa dipakai banyak orang. Saya enggak tahu caranya, saya enggak ngerti gimana bikinnya, saya bahkan enggak bisa membayangkan bagaimana bentuknya.

Keinginan itu belum terwujud saat itu dan sampai hari ini, tetapi saya terus jalan. Mungkin juga karena saya enggak punya pilihan lain juga, sih. Jadi … yaudah aja, jalan terus. Hehe.

Proses: Pelan, Tetapi Nempel

Saya mulai dari blog. Lalu podcast. Masuk ke dunia proyek dan bisnis, belajar bikin proposal, RAB, dan deck. Semua itu saya pelajari pelan-pelan. Namun, saya masih menulis. Saya pengen banget nulis fiksi, tetapi saya udah enggak mau nulis di platform yang ada sekarang. Banyak hal yang enggak saya setujui tentang platform yang udah ada itu.

Trus, daripada ribut di mana enggak setujunya dan berisik ngasih komentar tentang harusnya begini-begitu, yaudah (lagi) aja, saya tetap berusaha biar bisa bikin platform sendiri.

Kadang saya mikir; ini jalan bener enggak, sih? Kok, berat, ya? Kok, jauh, ya?

Namun, kalo saya berhenti sekarang, semua jalan yang udah terlewati bakalan sia-sia. Saya mempertimbangkan juga sunk cost theory.

Secara teori, saya tahu bahwa biaya yang sudah dikeluarkan (entah itu waktu, tenaga, uang, atau perasaan) enggak seharusnya memengaruhi keputusan sekarang. Itu semua udah tenggelam. Udah lewat. Namun dalam kasus saya, perjalanan ini bukan soal efisiensi, tetapi soal pendidikan jiwa. Kalau saya berhenti, bukan cuma saya kehilangan apa yang sudah saya mulai, tetapi saya juga kehilangan versi diri saya yang telah ditempa sepanjang jalan ini.

Kalo pakai teori itu, saya akan memutuskan untuk berhenti ketika kerugiannya udah banyak. Ketika saya masih menemukan keuntungan–yang mana secara materi saya untung sejauh ini, begitu juga secara koneksi dan pengalaman–jadi saya memutuskan buat terus jalan. Saya paham, realistis itu penting, perhitungan musti hati-hati, dan perencanaan itu selalu harus dengan mitigasi.

Photo by Kim Escalone on Unsplash

Kalau Allah yang Nanam, Allah Juga yang Siapin Jalan

(Bagian ini mengacu pada pemikiran Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī, seorang sufi dari tarekat Syadziliyah yang menulis kitab Al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah, kumpulan aforisme spiritual yang jadi rujukan utama dalam tradisi tasawuf klasik karena saya lagi baca bukunya.)

🕊️ Idzaa awraða fî qalbika irâdatan, fa’lam annahâ min âyâtil-karâmati laka.
Jika Allah menanamkan sebuah kehendak dalam hatimu, ketahuilah bahwa itu adalah tanda kemuliaan-Nya untukmu. (Al-Ḥikam, hikmah ke-101)

🕊️ Mâ harraka laka al-lisânu bi-thalabi, illâ wa qad arâda an yu‘ṭiyaka.
Allah tidak menggerakkan lidahmu untuk meminta sesuatu, kecuali karena Dia ingin memberikannya kepadamu. (Al-Ḥikam, hikmah ke-6)

🕊️ Lâ yataḥarraku syay’un fî al-mulk illâ wa huwa bi al-mulk.
Tidak ada sesuatu pun yang bergerak di dunia ini, kecuali karena telah digerakkan oleh kehendak-Nya. (Prinsip tawhid fi‘lī dalam akidah dan tasawuf)

Anak kecil dikasih permen, orang dewasa dikasih kunci, karena yang satu bisa langsung dimakan, yang satu butuh tanggung jawab, pencarian pintu yang tepat, dan pemahaman tentang apa yang ada di belakang pintu itu.

Ternyata Titik-Titik Itu Nyambung

Kadang saya mengira satu titik itu salah arah, tetapi belakangan justru saya sadar, titik itu yang bikin belokan jadi mungkin. Tanpa itu, saya enggak akan nyampe ke titik sekarang.

Dalam psikologi eksistensial, terutama pemikiran Viktor Frankl, manusia bukan cuma butuh kenyamanan, tetapi butuh makna. Makna itu–ini bagian paling nyebelin sebenernya–sering kali hadir lewat penderitaan yang dijalani dengan kesadaran. Mungkin saya enggak sedang mencari hidup yang enak, tetapi hidup yang bermakna yang kadang datangnya dari jalan yang enggak gampang.

Kalo ditanya sekarang, apa semua itu sepadan? Saya enggak akan jawab pasti. Namun saya tahu, saya enggak mau ulang hidup saya tanpa semua itu.

Hidup bukan garis lurus. Titik-titiknya berserakan. Namun pada waktunya nanti, akan kelihatan pola. Akan terasa,  “Oh, ternyata ini maksudnya.”

Kadang kita terlalu fokus bikin hidup rapi dan sesuai timeline. Padahal banyak hal penting justru muncul dari kejadian yang enggak kita rencanakan. Hidup itu bukan presentasi PowerPoint, lebih kayak coretan acak di jurnal harian, yang nanti kita baru ngerti waktu dibaca ulang.

Menghadapi Hidup = Menghadapi Ketidaktahuan

Kita hidup di tengah hal-hal yang enggak bisa kita kendalikan, tetapi bukan berarti kita harus diam aja. Dalam Islam, ada sabar, tawakal, dan ikhtiar. Terus jalan, walau belum tahu arah jelasnya ke mana.

Hidup bukan soal tahu dulu, baru bergerak. Kadang justru harus bergerak dulu, baru ngerti arah. Ini bukan optimisme kosong, tetapi bentuk dari iman; percaya sebelum bukti kelihatan.

Kadang saya sedih. Kadang saya lelah. Namun yang paling sering, saya cuma pengin tahu, “Apa iya, ini semua akan sampai?”

Saya pun belajar memahami bahwa hikmah bukan cuma pelajaran. Ia adalah cara pandang baru. Cahaya yang datang setelah hati kita tenang, enggak lagi penuh tuntutan. Kadang baru terasa setelah kita berhenti marah dan mulai terima.

Duluuu … kalo saya curhat tentang kesulitan atau musibah yang saya alami, trus orang yang saya curhati ini bilang, “Ambil hikmahnya, ya,” saya bingung. Kebingungan pertama datang dari; saya enggak atau belum tahu hikmahnya apa dan di mana. Kebingungan kedua datang dari; gimana caranya mengambil hikmah dari kejadian yang menyakitkan? Emang ada ikan segar di kolam darah? Huft.

Sekarang saya paham bahwa hikmah bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Ia datang diam-diam, seringnya setelah kita jatuh. Bukan lewat pencerahan dramatis, tetapi lewat bisikan kecil dalam kesadaran yang datang lewat pemahaman, “Ah, jadi ini maksudnya.”

Photo by Anna Mircea on Unsplash

Titik Itu Bisa Juga Berbentuk Luka

Hidup bukan soal tahu semua, tetapi soal cukup berani buat ngejalanin satu titik, lalu satu titik lagi, lalu satu titik lagi. Bahkan luka bisa jadi titik. Dan siapa tahu, itu titik yang bikin kita akhirnya pulang.

Saya belajar bahwa makna enggak selalu datang dari hal yang besar. Kadang cuma lewat napas yang tetap berhembus meski hati rasanya remuk. Lewat langkah kecil yang tetap diambil, meskipun cahaya di ujung jalan belum kelihatan. Lewat keberanian buat percaya, walaupun enggak ada jaminan semuanya akan baik-baik saja.

Kita enggak diminta buat ngerti semuanya sekarang. Kita cuma diminta buat jalan. Jalan yang kadang sunyi, kadang panjang, kadang kelihatannya muter-muter di tempat.

Mungkin belum semua titik terhubung. Mungkin beberapa masih kelihatan seperti noda, tetapi saya cukup tenang untuk terus narik garisnya. Karena saya percaya, bahkan dari coretan paling berantakan pun, sesuatu yang bermakna bisa lahir. Dan mungkin, itu bukan cuma tentang saya.

Mungkin ini tentang bagaimana saya bisa jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang belum saya pahami sepenuhnya. Nanti, kalau waktunya datang, saya ingin bisa bilang: “Untung saya tetap jalan.”

Saya enggak atau belum tahu juga, sih, ‘keras kepala’ itu masuk ke fitur atau bugs di otak saya. Hehe.

***

Visited 23 times, 1 visit(s) today

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.