Makanan tidak hanya soal rasa. Kadang, makanan adalah pengingat. Kadang, ia adalah bukti bahwa kita mampu membeli atau membuatnya. Atau sekadar cara tubuh kita bilang, saya butuh sesuatu untuk bertahan hari ini.
Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi dua kisah tentang makanan. Tentang mie instan dan cake. Keduanya sederhana, tetapi alasan saya menyukainya enggak sesederhana itu ternyata.

Photo by ikhsan baihaqi on Unsplash
Indomie Goreng, Nasi, dan Lima Sendok Kuah
Waktu saya hamil Tole, tiba-tiba saya jadi ngidam berat Indomie goreng. Bukan sembarang Indomie. Harus ada nasinya, dan, yang paling spesifik, harus ada lima sendok kuah. Bukan kuah bening, bukan sup, kuah sisa rebusan bumbunya yang dituang ulang ke mangkok, bikin mie gorengnya jadi nyemek. Agak lengket, asin, dan entah kenapa, rasanya menenangkan sekali.
Padahal, seumur hidup sebelum hamil, saya enggak pernah tergoda Indomie goreng. Setelah melahirkan pun, selera itu lenyap seperti enggak pernah ada.
Saya enggak pernah paham kenapa. Namun, seiring waktu dan dengan pengetahuan yang saya pelajari kemudian, saya mulai mengerti. Ternyata, rasa ingin itu bukan sekadar soal lapar, tetapi tentang hormon, kerja otak, memori, bahkan kebutuhan untuk punya kendali di tengah kekacauan.
Hormon dan Otak yang Berubah
Saat hamil, kadar hormon estrogen dan progesteron meningkat drastis. Akibatnya:
- Indra pengecap bisa berubah total. Rasa yang dulu biasa saja bisa terasa luar biasa, atau sebaliknya, sangat menjijikkan.
- Indra penciuman menjadi sangat sensitif, sampai bau masakan tetangga bisa memicu reaksi emosional.
Perubahan besar ini memengaruhi bagaimana tubuh dan otak memproses rasa, aroma, bahkan emosi. Makanan sederhana seperti Indomie bisa terasa seperti puncak kenikmatan hidup.
Craving sebagai Bahasa Tubuh
Kadang, tubuh sedang membutuhkan zat tertentu. Namun sinyalnya enggak datang dalam bentuk pesan jelas, melainkan dalam bentuk craving yang membingungkan. Misalnya:
- Kekurangan zat besi bisa memicu keinginan mengunyah es batu.
- Butuh energi atau elektrolit bisa membuat kita ingin makan mie instan, kerupuk, atau kombinasi tidak logis lain.
Tubuh sedang bicara, hanya saja enggak pakai subtitle.
Makanan dan Memori yang Terpendam
Kemungkinan besar, saya pernah makan Indomie dalam situasi yang hangat; saat sakit, saat merasa dicintai, saat ditenangkan. Saya mungkin lupa, tetapi tubuh saya enggak.
Saat hamil, dengan segala ketidakpastian dan perubahan besar, otak saya mencari rasa aman. Terus, jawaban dari si Otak adalah: “Gue tahu lo stres. Nih, Indomie goreng berkuah. Trust me.”
Makanan sebagai Kendali
Saat hamil, banyak hal tidak bisa dikendalikan; tubuh, emosi, jadwal tidur, bahkan komentar orang. Namun satu hal bisa diatur; makanan. “Maaf, ini harus lima sendok kuah. Bukan empat. Bukan enam.”
Itu cukup untuk merasa bahwa hidup belum sepenuhnya lepas kendali.
Craving yang Aneh Juga Masuk Akal
Penelitian menunjukkan otak orang hamil mengalami ‘reorganisasi jalur saraf‘. Sistem saraf kita sedang menyesuaikan diri. Dalam proses itu, keinginan bisa muncul dengan bentuk aneh.
Ada yang ingin mencium bau sabun, ada yang ingin mencium bau bensin, dan ada juga yang ingin Indomie goreng dengan nasi dan lima sendok kuah.
Penelitian dari Hoekzema et al. (2016), yang diterbitkan di jurnal Nature Neuroscience, menemukan bahwa kehamilan menyebabkan perubahan struktur otak yang signifikan, khususnya di area yang berkaitan dengan empati, pemrosesan sosial, dan respons terhadap bayi.
Perubahan ini bukan kerusakan, melainkan bentuk penyesuaian neurologis yang berlangsung hingga dua tahun setelah melahirkan. Dengan kata lain, otak sedang menyesuaikan diri untuk menjadi ‘versi ibu’ dari diri kita. Enggak heran jika craving, persepsi, dan kebutuhan emosional selama hamil bisa terasa sangat asing, karena memang secara literal, jalur dalam otak kita sedang diatur ulang.
Cake, Ketercukupan, dan Kenangan
Saya juga punya makanan lain yang saya sukai karena alasan psikologis lain; cake. Alasannya sederhana, karena saya pernah miskin.
Suatu ketika, saya datang ke ulang tahun seorang saudara yang mendapat hadiah cake cukup banyak, mungkin empat atau lima. Semua cake itu dideretkan di meja, tetapi hanya satu yang dipotong. Saya minta salah satu cake lain untuk dipotong karena kelihatannya enak. Namun, saudara itu menolak. Katanya, untuk pesta ini, satu saja yang dipotong. Jadilah kue itu dipotong tipis-tipis agar semua kebagian.
Waktu itu, saya enggak punya uang untuk sembarangan membeli cake seharga 400an ribu. Namun ketika keadaan keuangan saya membaik, saya mulai rutin membeli cake setiap kali anak-anak ulang tahun, termasuk untuk diri saya sendiri. Saya bahkan menetapkan standar; kue dari The Harvest, Dapur Cokelat, atau sejenisnya, dengan harga 300an sampai 400an ribu.
Dulu, Bapak saya bekerja sebagai supir direktur di Departemen Sosial. Ibu bosnya sangat baik. Bapak sering membawa berbagai hal pulang ke rumah, termasuk cake di hari-hari tertentu. Saya masih ingat rasa black forest yang enak sekali yang pernah saya makan waktu itu.
Kini, saya bisa membeli cake hanya karena saya ingin. Awalnya saya kira ini hanya soal rasa. Namun, saya mulai paham bahwa yang saya rasakan sebenarnya lebih dalam.
Cake menjadi simbol. Ia menyimpan banyak hal:
- Tanda bahwa sekarang saya mampu membeli apa yang dulu tidak bisa.
- Pengakuan atas luka kecil masa lalu; ketika saya ingin sesuatu dan ditolak.
- Replika momen hangat yang pernah datang dari tangan orang baik.
- Dan mungkin, rasa sedih samar karena tahu; yang butuh kue itu bukan saya hari ini, tetapi saya yang dulu.

Photo by montatip lilitsanong on Unsplash
Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa dan tidak memutuskan tali silaturahmi, melainkan Allah akan memberikan baginya salah satu dari tiga hal: dikabulkan segera, disimpan untuknya di akhirat, atau dihindarkan dari keburukan yang sebanding dengan doanya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dan At-Tirmidzi)
Artinya, tidak ada keinginan yang benar-benar hilang. Segalanya tersimpan. Segalanya tercatat.
Mungkin kue yang saya inginkan waktu itu, yang tidak saya dapatkan, bukanlah milik saya di masa itu. Mungkin ia ditangguhkan. Mungkin rasa ingin yang dulu tidak terpenuhi itu akan menjadi bagian dari balasan yang lebih baik, baik di dunia atau di akhirat.
Mungkin juga, kebiasaan saya membeli cake sekarang, bukan hanya bentuk afirmasi ekonomi atau kenikmatan kecil, tetapi juga pengingat bahwa enggak ada keinginan yang sia-sia. Beberapa dikabulkan sekarang. Beberapa sedang ditunda dengan hikmah.
Satu-satunya momen ulang tahun yang enggak pakai cake adalah ulang tahun si Tole. Dia maunya beli pizza. Saya bahkan baru ingat–ketika menuliskan ini–kalau saya memesan Pizza Hut dan KFC sebelum puasa untuk SC si Tole. Mungkin, anak itu, anak yang belum lahir itu, ingat ini juga karena dua makanan ini adalah makanan kesukaannya.
Makna yang Bertumpuk dan Enggak Selalu Terlihat
Saat saya membeli cake hari ini, bisa jadi saya sedang memenuhi sesuatu untuk diri saya yang dulu. Bukan untuk memanjakan diri, tetapi sebagai bentuk re-parenting; memeluk dan memberi apa yang dulu enggak sempat saya miliki. Makanan menjadi cara untuk berdamai dengan rasa enggak dianggap.
Tubuh kita, pada dasarnya, adalah arsip. Neurosains dan gastronomi modern sepakat bahwa tubuh menyimpan jejak rasa dan emosi. Craving bukan semata impuls, tetapi arsip yang dibuka ulang, mungkin dalam bentuk aroma, tekstur, atau sekadar ingatan samar. Ketika tubuh merindukan sesuatu, bisa jadi ia sedang membuka catatan lama.
Dalam konteks sosial, sosiolog seperti Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa makanan sering kali menjadi penanda kelas. Namun dalam cerita saya, cake bukan soal pamer. Ia adalah simbol bahwa saya telah berpindah dari keterbatasan menuju kecukupan. Bukan untuk dilihat orang, tetapi untuk diri saya sendiri, a quiet reclaiming of dignity.
Dalam pandangan tasawuf, keinginan duniawi enggak harus ditolak, tetapi bisa diolah menjadi tangga kesadaran. Membeli cake bisa saja muncul dari nafsu, tetapi bisa juga menjadi sarana untuk bersyukur, mengingat masa lalu, dan menyadari bahwa rezeki datang dalam bentuk yang sangat manusiawi. Makanan menjadi titik temu antara tubuh, batin, dan hikmah.

Photo by Gilbertus Adin on Unsplash
Tubuh dan Kenangan, Selera, dan Kendali
Craving bukan hanya soal makanan. Bisa jadi itu cermin dari apa yang sedang kita rasakan, butuhkan, atau kenang. Bisa jadi tubuh sedang mengirim pesan:
“Tolong, beri saya sesuatu yang bisa saya pegang, sesuatu yang membuat saya merasa aman, walau cuma lima sendok kuah.”
Mungkin juga:
“Saya tidak ingin balas dendam pada masa lalu. Saya hanya ingin memotong kue itu sekarang, karena saya sudah mampu.”
Makanan adalah cara tubuh bertahan. Namun kadang, juga cara hati kita bicara. Dan kalau kita dengarkan baik-baik, ada cerita yang selalu bisa diceritakan ulang lewat setiap gigitan.
***