Sebagai orang yang suka nongkrong di sosmed berlama-lama dan nonton Youtube sambil main games, kadang saya ketemu sama satu-dua hal yang ngebikin saya mikir, “Ini, tuh … dibuat untuk ngasih informasi atau mengalihkan perhatian, sih?”
Kamu begitu juga enggak?
Misalnya, beberapa waktu yang lalu, saya ngikutin kasus ‘Toren Pink’ (please, saya enggak mau ngejelasin, YTTA) dan ketika itu, di waktu yang bersamaan, juga ada kasus lain yang lebih penting dan lebih ada urusannya sama aturan hukum dan kehidupan kita sebagai warna negara. Saya jadinya mikir (lagi), “Ini kita dianggap bego apa gimana? Dikiranya kita akan mengalihkan perhatian sama urusan enggak penting karena lebih spicy atau gimana?”
Saya jadi penasaran.
Beberapa tahun yang lalu, saya ngikutin (banget) beauty community yang ada di YouTube. Kasus personal dipakai untuk menaikkan penjualan makeup dan eksposur di sana. Lalu, salah satu YouTuber yang juga adalah mahasiswa graduate … duh, saya lupa pula jurusannya, ngebahas fenomena ini dari sudut pandang bahwa gosip-gosip dan kasus personal itu dibuat untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya dan dia menyamakannya dengan court jester.
Trus, saya jadi bertanya-tanya; apa ini semua, keributan ini, juga court jester?
Saya pun masuk ke berjam-jam memahami dua hal ini; court jester dan town crier.
Jadi, setelah berjam-jam itu … saya pun ingin membahas dan menuliskannya, daripada lupa.
Menggali sejarah itu bukan sekadar hobi anak jurusan soshum yang kangen ujian open book. Ini survival kit. Tanpa peta masa lalu, kita gampang percaya kalo trik lama itu inovasi baru. Dulu jester bikin raja tertawa sambil nyelipin kritik, sekarang jester digital bikin kita ketawa sambil nyelipin iklan. Dulu crier ngumumin pajak di alun-alun, sekarang ngumumin kebijakan di Instagram Live. Kalau enggak ngerti sejarahnya, kita jadi penonton yang nurut tepuk tangan di waktu yang sudah diatur, tanpa sadar lagi main di panggung orang lain. Jadilah di akhir pekan ini saya malah nulis beginian. Huft.

Court jester. Dibuat dengan ChatGPT.
***
Ruang tahta abad ke-16 adalah panggung yang enggak kalah dramatis dari gedung DPR, bedanya di sini semua orang memakai topi aneh. Henry VIII duduk di kursi megahnya, wajahnya setenang patung marmer yang hanya retak kalau ada kabar bagus atau kabar gosip. Masuklah Will Sommers, jester kesayangan raja, dengan kostum warna-warni yang hari ini mungkin akan dikira ‘outfit untuk festival musik indie’. Dia membungkuk, lalu mulai melontarkan lelucon yang terdengar manis, tetapi ujungnya menggigit; pajak baru yang katanya untuk pembangunan, tetapi rakyat masih saja mengeluh jalan berlubang. Para bangsawan menahan tawa, takut kalau kebablasan nanti ikut diincar sama tukang bakso pakai HT, eh.
Lompatan cepat ke abad ke-21. Hape kamu menampilkan komedian di YouTube, berceloteh soal korupsi, birokrasi, dan janji politik yang lebih sering menguap daripada ditepati. Penonton tertawa, menekan tombol ‘share’, lalu menyebarkannya ke grup WhatsApp keluarga, yang ironisnya juga berisi Pak Dhe dan Pak Le pendukung garis keras tokoh yang disindir. Bedanya dengan masa lalu, raja sudah berganti menjadi algoritma. Sang penguasa enggak berwajah ini memutuskan siapa yang menonton, siapa yang marah, dan siapa yang tiba-tiba mendapat iklan investasi kripto.
Court jester dan town crier adalah dua arketipe komunikasi kekuasaan yang sudah ada ratusan tahun. Jester, si pelawak istana, hidup di wilayah abu-abu kebebasan bicara; cukup berani untuk menyindir, cukup cerdik untuk enggak kehilangan kepala karena dipancung. Town crier, si penyampai berita resmi, adalah ‘mikrofon publik’ pemerintah, membacakan hukum, pajak, dan peraturan di tengah pasar, versi analog dari breaking news TV atau unggahan Instagram kementerian.
Keduanya tampak berbeda, tetapi saling melengkapi. Yang satu memancing tawa untuk membujuk atau mengalihkan perhatian, yang lain memukul gong informasi agar publik mendengar. Di era digital, garis di antara mereka mulai kabur. Komedian bisa menjadi sumber berita, akun resmi pemerintah bisa bercanda dengan meme, dan publik sering kali bingung; ini satire atau pengumuman sungguhan, daaah?
Tulisan saya yang berusaha jadi ala ala feature ini (ciyeh) akan mengajak kamu berjalan dari aula kerajaan sampai lini masa media sosial, dari carnivalesque ala Bakhtin hingga model propaganda Herman-Chomsky, dari ‘bread and circuses’ zaman Romawi sampai ‘Two Minutes Hate’ ala Orwell. Kita akan melihat bagaimana hiburan dan informasi resmi (dua wajah dari koin yang sama) terus dipakai sebagai alat kekuasaan, hanya saja kostumnya berganti.
Seperti dalam The Hunger Games, kadang pertunjukan bukan hanya untuk menghibur, tetapi untuk memastikan semua orang tetap duduk manis di kursinya. Oh, saya juga lupa untuk membahas kalo Joker itu adalah jester yang anarkis karena enggak punya tuan (raja). Kayaknya dijadiin bahasan terpisah aja, ya….
(Sebentar … sebentar. Kok, bagian pembukaan ini bagus, ya? Huahuaaa … Si Octa makin pinter, nih, nulisnya! <~Muji diri sendiri adalah bentuk self apreciation.)
***
Court Jester: Hiburan yang Beresiko
Kalo kamu pikir stand-up comedian zaman sekarang punya nyali besar, coba bayangkan kerja sebagai court jester di abad pertengahan. Job desc-nya; bikin raja ketawa. Risiko kalau garing? Paling buruk, karier mati. Risiko kalau terlalu lucu dan nyentil isu sensitif? Bisa-bisa kamu yang mati secara harfiah.
Court jester adalah pelawak istana yang digaji penguasa atau bangsawan untuk menghibur. Mereka bukan sekadar pengisi waktu luang, tetapi di banyak istana, jester juga menjadi semacam konsultan kejujuran yang unik, satu-satunya orang yang bisa bilang “Yang Mulia, ide ini konyol,” dan tetap diundang makan malam. Bedanya, nasihat itu dibungkus dengan humor, pantun, atau improvisasi teatrikal.Contoh paling terkenal adalah Will Sommers, jester Henry VIII. Walaupun detail komedinya enggak banyak terdokumentasi, catatan sejarah menyebut dia sering menyelipkan kritik ringan soal kebijakan pajak dan intrik istana. Ada yang bilang, dia bisa membuat raja tertawa sambil pelan-pelan memasukkan benih keraguan tentang keputusan politik ke dalam pikiran si raja.
Fungsi Sosial: Lebih dari Sekadar Lawak
Jester punya empat fungsi utama, setidaknya … sejauh hasil riset saya (kali aja ada yang lain tetapi miss di saya, hiks):
- Hiburan dan kritik terselubung; menyindir tanpa terlihat seperti menyerang.
- Kanal gosip politik; menyebar rumor atau kabar di lingkaran istana.
- Uji batas kebebasan bicara; mengukur seberapa jauh kritik bisa diterima.
- Pengalih isu; menjauhkan perhatian publik dari masalah serius atau dalam istilah Romawi; bread and circuses.
Humor di sini bukan hanya untuk ketawa. Pemikir Rusia Mikhail Bakhtin (1895–1975) menyebut humor sebagai bagian dari carnivalesque, yaitu situasi sosial di mana hierarki dibalik dan semua orang, dari rakyat jelata sampai bangsawan, berada dalam ‘ruang bebas’ yang sama. Dalam bukunya Rabelais and His World (terjemahan Inggris oleh Hélène Iswolsky, MIT Press, 1968), Bakhtin menulis:
“Carnival is a pageant without footlights… everyone is an active participant… its participants live a carnivalistic life.” (hlm. 7)
Dengan kata lain, jester adalah pelaku mini-carnival yang membawa logika pembalikan itu ke ruang istana.
Panggung Depan dan Belakang
Sosiolog Kanada Erving Goffman (1922–1982) menggambarkan interaksi sosial seperti pertunjukan teater. Dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959), Goffman menjelaskan bahwa ada front stage untuk penampilan resmi dan back stage untuk versi asli yang lebih santai atau bahkan berantakan.
Jester sering melompat di antara dua panggung ini. Di depan publik, dia hanya terlihat sebagai pelawak. Di belakang, dia bisa menjadi penasihat pribadi atau penghibur raja saat sedang stres menghadapi diplomasi dan perang. Kemampuan berpindah dari front stage ke back stage ini membuat jester unik; dia bukan sekadar penghibur, tetapi juga figur kepercayaan yang punya akses ke ruang-ruang di mana kata-kata biasanya lebih dijaga.
Jester di Dunia Modern
Siapa jester masa kini? Banyak kandidat:
- Stand-up comedian politik seperti Pandji Pragiwaksono atau Cak Lontong saat segmen tertentu.
- YouTuber satir seperti The Daily Show versi lokal.
- Pembuat meme politik di Twitter atau Instagram.
Mereka semua berbagi satu DNA; mencampur fakta dengan tawa, memaksa orang berpikir sambil senyum kecut. Fenomena ini punya basis psikologi.
Konsep ini dijelaskan oleh dua peneliti media asal Amerika, Donald Horton dan Richard Wohl, dalam artikel klasik berjudul Mass Communication and Para-Social Interaction: Observations on Intimacy at a Distance yang terbit di jurnal Psychiatry (Vol. 19, No. 3, 1956). Mereka menulis:
“This simulacrum of conversational give and take may be called para-social interaction… one-sided, controlled by the performer, and not susceptible of mutual development.” (hlm. 215)
Artinya, kita merasa dekat dan mengenal si komedian, padahal interaksi itu sepenuhnya ilusi. Di dunia digital, ilusi ini bisa memengaruhi cara kita menilai politik.
Jester sebagai Alat Kekuasaan
Ada ironi di sini. Jester sering dianggap simbol kebebasan berbicara, tetapi di tangan penguasa yang lihai, mereka juga bisa menjadi alat distraksi. Mau menutupi kebijakan yang enggak populer? Biarkan publik sibuk membicarakan roasting lucu semalam. Di era media sosial, trik ini lebih mudah dari sebelumnya, cukup berkolaborasi dengan influencer, membuat konten santai, dan narasi besar bisa terdorong keluar dari sorotan.
Logika ini nyambung dengan Model Propaganda yang diperkenalkan oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam buku Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (Pantheon Books, 1988). Herman dan Chomsky menjelaskan:
“The raw material of news must pass through successive filters, leaving only the cleansed residue fit to print.” (hlm. 2)
Menurut mereka, media tidak sekadar menyampaikan berita, tetapi juga menyaring informasi melalui lima filter; kepemilikan media, pendanaan lewat iklan, sumber berita yang dominan, ‘flak’ atau tekanan balik terhadap isi berita, dan ideologi dominan. Dalam konteks ini, jester modern di media digital bisa saja ikut menjadi bagian dari sistem penyaringan itu, entah sadar atau enggak.
Kalau mau melihat versi ekstrem dari arketipe jester di budaya pop, sulit mengabaikan Joker dari DC Comics. Dengan kostum mencolok, tawa berlebihan, dan selera humor yang mematikan, Joker mengadopsi estetika court jester, tetapi memutarbalikkannya jadi simbol anarki total. Berbeda dengan jester historis yang bekerja di bawah perlindungan raja, Joker adalah jester tanpa tuan, yang justru ingin membakar panggung kekuasaan, bukan menghibur penguasanya. Dalam konteks politik digital, Joker bisa diibaratkan sebagai kreator konten yang sengaja menciptakan kekacauan narasi, bukan untuk mengalihkan atau menguatkan pesan penguasa, tetapi untuk meruntuhkan seluruh sistem panggung itu sendiri.
Humor, Risiko, dan Batas Tipis
Batas antara kritik dan bencana selalu tipis. Di masa lalu, kesalahan satu baris lelucon bisa membuat kepala jester berakhir di keranjang. Di masa kini, konsekuensinya mungkin ‘hanya’ akun diblokir, konten dihapus, atau panggilan klarifikasi ke kantor polisi. Namun, polanya sama, kekuasaan masih menentukan seberapa jauh jester boleh melangkah.
Sekarang kita pindah ngebahas town crier.
***
Town Crier: Suara Kekuasaan di Ruang Publik
Bayangkan kamu hidup di abad pertengahan. Enggak ada koran, radio, apalagi media sosial. Lalu suatu hari, seorang pria bersuara lantang berdiri di tengah pasar, mengetuk lonceng, dan berteriak, “Dengarkan! Dengarkan!”
Itulah town crier; ‘akun resmi pemerintah’ sebelum internet ditemukan.
Town crier adalah petugas resmi yang dibayar pemerintah atau penguasa lokal untuk menyampaikan pengumuman di ruang publik. Biasanya mereka membacakan hukum baru, tarif pajak, pengumuman eksekusi, atau kabar penting lain yang perlu diketahui rakyat. Karena banyak orang buta huruf pada masa itu, town crier adalah satu-satunya sumber informasi yang langsung bisa diakses semua kalangan.

Town Crier. Dibuat dengan ChatGPT.
Tradisi ini enggak hanya ada di Eropa. Di Afrika Barat, ada griot; penutur lisan yang menggabungkan berita, sejarah, dan musik. Di Tiongkok kuno, pengumuman pajak dan dekrit kaisar dibacakan di pasar-pasar kota. Semua punya fungsi serupa; menjadi perpanjangan suara kekuasaan.
Fungsi Sosial dan Politik
Town crier punya peran ganda:
- Penyampai informasi resmi: Membawa pesan pemerintah langsung ke publik.
- Simbol otoritas: Kehadirannya mengingatkan warga bahwa kekuasaan hadir di tengah mereka.
Dalam bukunya Keywords: A Vocabulary of Culture and Society (Oxford University Press, edisi revisi 1983), kritikus budaya Raymond Williams menjelaskan bahwa istilah public enggak hanya berarti ‘orang banyak’, tetapi juga ‘wilayah yang berada di bawah perhatian dan kendali otoritas’. Town crier secara fisik menegaskan batas itu, mereka membawa pesan yang ‘bersifat publik’ karena berasal dari kekuasaan, bukan dari rakyat.
Di era sebelum media cetak massal, peran mereka juga berkaitan dengan kontrol narasi. Hanya pesan yang disetujui penguasa yang disampaikan. Dengan kata lain, mereka adalah ‘filter’ pertama berita.
Town Crier di Dunia Modern
Kalo di masa lalu town crier mengetuk lonceng, hari ini mereka mengetuk notifikasi ponsel kamu. Contohnya:
- Pembawa berita televisi pemerintah yang membacakan pernyataan resmi.
- Akun media sosial resmi pemerintah yang mengumumkan kebijakan baru.
- Siaran darurat di radio atau TV ketika ada bencana.
Di era digital, town crier modern punya jangkauan lebih luas, tetapi fungsi intinya tetap sama, menyampaikan pesan yang sudah disetujui oleh otoritas. Bedanya, sekarang persaingan pesan jauh lebih ketat. Mereka bukan lagi satu-satunya sumber berita, dan publik bisa langsung memberi respons, bahkan mengoreksi.
Satu Arah atau Interaktif?
Sejarah town crier adalah sejarah komunikasi satu arah; pemerintah berbicara, rakyat mendengar. Namun, media digital memaksa mereka untuk sedikit beradaptasi. Di X atau Instagram, akun pemerintah kadang harus menjawab komentar atau meluruskan kesalahpahaman. Walaupun begitu, seperti yang ditulis Williams, hubungan ini masih memusatkan kontrol pada pihak pengirim pesan.
***
Hiburan dan Informasi sebagai Instrumen Kekuasaan
Di zaman sekarang, court jester dan town crier bukan cuma warisan sejarah; mereka peliharaan resmi di kebun binatang politik modern. Tugas mereka untuk biikin kamu ketawa atau mengangguk sambil diam-diam menutup tirai di belakang panggung. Jester digital ngasih kamu drama politik receh, crier modern bacain kabar resmi yang aman-aman saja, sementara di balik layar, isu besar jalan terus; proyek raksasa, kebijakan nyeleneh, atau manuver elit yang enggak masuk beranda kamu. Formula ini klasik; kasih rakyat cukup banyak tontonan dan pengumuman formal supaya otak mereka sibuk di jalur aman. Kalau di abad pertengahan kita disuguhi pesta istana dan pengumuman pajak yang dibungkus megah, sekarang kita dapat trending topic, siaran pers, dan konten viral yang sengaja diatur timing-nya. Bedanya, panggungnya sekarang ada di saku kita, dan algoritma jadi sutradara yang mutusin kapan kita tertawa, kapan kita panik, dan kapan kita enggak tahu apa-apa.

Bread and circuces di jaman Romawi. Dibuat dengan ChatGPT
Tabel Perbandingan Fungsi
| Aspek | Court Jester | Town Crier |
| Loyalitas | Raja | Pemerintah |
| Fungsi utama | Hiburan, kritik, distraksi | Pengumuman resmi |
| Audiens | Elit istana | Publik umum |
| Kebebasan bicara | Tinggi (relatif) | Rendah |
| Akses informasi | Internal istana | Informasi publik |
Kombinasi keduanya menghasilkan efek ganda; satu memengaruhi emosi dan opini lewat humor, satu lagi memperkuat kebijakan lewat pengumuman resmi.
The Hunger Games dan Hiburan Terkontrol
Kalo mau melihat formula ini dalam bentuk paling teatrikal, cukup tonton The Hunger Games. Di situ, hiburan bukan sekadar tontonan, tetapi mekanisme pengendalian massa. Sama seperti jester dan crier modern, permainan itu dirancang untuk mengalihkan fokus publik dari realitas pahit, sambil memastikan semua orang merasa ‘terlibat’ dalam narasi yang sudah diatur. Bedanya, di dunia nyata, kita enggak selalu sadar kapan kita sedang jadi penonton, dan kapan kita sebenarnya juga sedang ikut jadi pemain.
Kalo kamu curiga saya sengaja memasukkan novel itu ke tulisan ini … kamu benar! Saya suka banget sama The Hunger Games, jadi yah … saya akan pakai ceritanya buat jadi contoh selagi bisa dan nyambung. Hehe.
Di Panem, Capitol menggelar permainan maut tahunan yang disiarkan ke seluruh negeri. Hiburan ini punya dua fungsi; mengalihkan perhatian rakyat dari penindasan sehari-hari, dan menegaskan dominasi Capitol lewat tontonan brutal yang ‘menghibur’. Dari namanya ‘The Hunger Games’, entah siapa yang lapar sebenarnya; si penonton yang lapar akan hiburan atau si kontestan yang lapar beneran.
Seperti dijelaskan Collins melalui karakter Presiden Snow, hiburan bisa menjadi senjata politik ketika dikemas dengan narasi yang tepat. Penonton terikat emosi, sementara pesan yang terselip justru memperkuat kekuasaan.
Teori Propaganda dan Distraksi Politik
Kita sudah melihat bahwa Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent (1988) menjelaskan bagaimana berita disaring oleh lima filter (kepemilikan media, pendanaan iklan, sumber berita, flak, dan ideologi dominan) sebelum sampai ke publik.
“The raw material of news must pass through successive filters, leaving only the cleansed residue fit to print.” (hlm. 2)
Jika court jester modern bekerja di dalam ekosistem media ini, humor mereka pun bisa diarahkan untuk mengalihkan perhatian publik dari isu tertentu. Town crier modern, dengan berita resminya, mengisi celah lain dalam sistem; memastikan pesan pemerintah sampai ke audiens luas tanpa distorsi yang merugikan pihak berwenang.
Ekonomi Kekuasaan: Siapa yang Membayar?
Di masa lalu, jester dibayar oleh raja, crier oleh pemerintah kota. Di era digital, sponsor dan algoritma menjadi ‘raja’ baru. YouTuber satir bisa menyesuaikan konten demi menjaga monetisasi, akun pemerintah bisa memoles bahasa agar enggak memicu backlash. Mekanisme pembiayaan ini memengaruhi seberapa ‘bebas’ keduanya dapat berbicara.
Jadinya, kan … semua tergantung dananya.

The Hunger Games re-imagining. Dibuat dengan ChatGPT.
Efek Psikologis dan Sosial
Kombinasi hiburan dan pengumuman resmi menciptakan efek psikologis yang kuat. Hiburan mengendurkan kewaspadaan, sementara pengumuman resmi mengisi ruang narasi yang kosong. Publik akhirnya terombang-ambing antara tawa dan kepatuhan.
Di bagian ini, kadang saya merasa kasihan pada diri saya sendiri karena saya jadi warga negara di negara ini. Setiap hari sosial media saya dipenuhi berita-berita yang aneh tentang keputusan pemerintah seolah para pembuat keputusan itu enggak bisa memahami hal paling sederhana dari logika pikir. Lalu, keputusan itu di-roasting oleh influencer. Kadang, saya harus mengulik ulang apa yang sebenarnya terjadi karena bias sudah jelas enggak bisa dihindari.
TL;DR ~> Mau dapet truth aja susah banget.
Era Digital: Court Jester dan Town Crier Modern
Kalo di abad pertengahan jester dan crier tunduk pada raja atau wali kota, sekarang mereka tunduk pada raja digital; algoritma media sosial. Algoritma menentukan siapa yang melihat konten, berapa banyak orang yang terpapar, dan apakah pesan itu akan viral atau tenggelam.
Menurut studi Algorithms of Oppression oleh Safiya Umoja Noble (NYU Press, 2018), algoritma bukan netral, dia memprioritaskan konten yang menguntungkan model bisnis platform. Artinya, pesan satir maupun pengumuman resmi bisa teredam jika tidak sesuai pola distribusi yang diinginkan sistem.
Dari Satu Arah ke Interaktif
Komunikasi di era jester dan crier klasik berjalan satu arah; mereka bicara, audiens mendengar. Kini, audiens bisa langsung merespons, membantah, atau bahkan membuat remix dari pesan asli. Di X, satu pengumuman resmi bisa dibanjiri komentar sarkas, sedangkan satu video roasting politik bisa dikomentari di TikTok untuk menambahkan kritik baru.
Namun, saya sendiri enggak yakin bahwa interaktif itu ada gunanya. Kebanyakan waktu, keberatan masyarakat yang disampaikan lewat sosial media hanya akan didengar kalo sudah viral, ketika banyak orang menjadi satu suara untuk menentang.
Kolaborasi Tak Terduga (atau … Sudah Bisa Diduga?)
Kadang, jester dan crier modern bekerja sama. Contohnya, akun pemerintah yang mengundang komedian untuk membawakan pesan publik, seperti kampanye vaksin dengan format sketsa humor. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa batas antara hiburan dan pengumuman resmi makin kabur di era digital. Ada baiknya ketika dibutuhkan penyampaian informasi ke masyarakat dengan ringan selama informasi ini enggak perlu dikunyah dengan critical thinking.
Sampai di sini, kadang-kadang saya berpikir bahwa kebanyakan masyarakat enggak mampu berpikir kritis bukan karena mereka enggak mau, tetapi karena gunanya enggak ada dan bagaimana caranya enggak pernah diajarin. Kalo ini mau dibahas, saya harus bolak-balik menjelaskan tentang pendidikan dan kondisi pendidikan di Indonesia dan itu … panjaaang~
Realitas di masyarakat itu kadang enggak seperti yang ditampakkan di berita dan sosial media.
Politik Kontemporer dan Budaya Pop
Kalo di abad pertengahan jester dan crier beroperasi di halaman istana dan alun-alun kota, di abad ke-21 mereka tampil di layar ponsel dan trending topic. Yang berubah bukan cuma medianya, tetapi juga ekosistem politik dan budaya pop yang membentuk cara mereka bekerja.
Indonesia: Jester yang Diawasi dan Crier yang Ramah
Di Indonesia, jester modern sering hadir sebagai stand-up comedian atau influencer yang sesekali melontarkan kritik politik. Contohnya, Bintang Emon yang pernah mengomentari isu hukum dengan gaya humor, dan kemudian mendapat serangan balik di media sosial. Ada juga komika lain yang memanfaatkan momen politik untuk membuat konten satir, tetapi harus berhitung karena risiko UU ITE atau doxing.
Sementara itu, town crier modern hadir lewat akun media sosial resmi kementerian atau pemerintah daerah. Mereka menyampaikan kebijakan atau klarifikasi, kadang berkolaborasi dengan kreator konten agar pesan lebih ‘masuk’ ke audiens muda.
Kolaborasi ini bisa efektif, tetapi juga problematis; publik kadang sulit membedakan mana pesan publik yang murni informatif dan mana yang sudah dibungkus narasi tertentu yang bias.
Amerika Serikat: Satir Sebagai Sumber Berita
Di AS, program seperti The Daily Show atau Last Week Tonight membuktikan bahwa jester modern bisa jadi sumber informasi utama bagi sebagian warga. Menurut studi Pew Research Center (2014), penonton setia program satir ini punya tingkat pengetahuan politik yang sama atau bahkan lebih tinggi dibanding penonton berita konvensional.
Namun, di sisi lain, town crier modern di AS (seperti briefing Gedung Putih) tetap berfungsi sebagai kanal resmi. Bedanya, sekarang briefing itu sering dikomentari, diparodikan, atau dibantah secara real-time di media sosial.

YouTuber komentator politik. Dibuat dengan ChatGPT.
China: Hiburan Terkurasi Negara
Di China, pemerintah memegang kontrol ketat terhadap hiburan dan informasi resmi. Town crier modern di sana adalah media negara yang sepenuhnya dikendalikan Partai Komunis. Court jester pun ada, tetapi mereka beroperasi dalam batas yang sangat ketat. Konten satir yang lolos biasanya hanya mengkritik isu kecil atau fenomena sosial, bukan kebijakan inti negara.
Rusia: Satir yang ‘Diawasi’
Di Rusia, ada komedian politik dan acara hiburan yang menyentil isu sosial, tetapi semua berada di bawah radar Kremlin. Town crier modern di sini jelas adalah media pemerintah seperti Russia Today, yang berfungsi memperkuat narasi resmi di dalam dan luar negeri.
Two Minutes Hate: Versi Digital
Konsep Two Minutes Hate berasal dari novel 1984 karya George Orwell. Dalam dunia fiksi itu, warga dipaksa menonton tayangan propaganda selama dua menit setiap hari untuk melampiaskan kebencian pada musuh negara. Orwell menulis:
“The horrible thing about the Two Minutes Hate was not that one was obliged to act a part, but that it was impossible to avoid joining in.” (hlm. 14, edisi Penguin)

Two Minutes Hate. Dibuat dengan ChatGPT.
Versi modernnya? Post di Thread dan X yang memicu kemarahan massal, siaran berita sensasional, atau video viral yang memancing komentar ribuan orang dalam hitungan jam. Baik jester maupun crier bisa memicu momen ini, yang penting adalah emosi publik terkonsentrasi pada satu target, sementara isu lain terpinggirkan.
Bread and Circuses 2.0
Ungkapan bread and circuses berasal dari satir penyair Romawi Juvenal (sekitar abad ke-1 M). Dalam Satires (Satire X), ia menulis:
“… for the People who once upon a time handed out military command, high civil office, legions — everything, now restrains itself and anxiously hopes for just two things: bread and circuses.”
Hari ini, versi 2.0 dari konsep itu ada di event besar yang menggabungkan hiburan dan politik; konser kampanye, acara olahraga internasional yang dipolitisasi, atau konten viral yang sengaja diatur timing-nya untuk menutupi berita yang lebih penting.

Town Crier modern di sosial media. Dibuat dengan ChatGPT.
Kesimpulan: Jadi Penonton Kritis, Bukan Penonton Bego
Di zaman dulu, rakyat menghadapi court jester dan town crier seperti menonton pertunjukan tunggal. Jester bikin lelucon, kamu ketawa. Crier umumkan pajak baru, kamu angguk pelan (atau mengumpat dalam hati). Enggak ada kolom komentar, enggak ada tombol share, apalagi fact-check.
Sekarang? Panggungnya ada di genggaman kamu, dan semua orang punya mikrofon. Court jester modern bisa bikin kita ngakak sambil menyelipkan opini politik. Town crier modern bisa muncul di notifikasi ponsel dengan pengumuman mendadak. Masalahnya, di balik tawa dan pengumuman resmi, selalu ada agenda, dan kalau kita enggak waspada, kita cuma jadi penonton yang tertawa di waktu yang salah.
Tips bertahan hidup di era jester dan crier digital:
- Pakai ‘kacamata anti-silau’ untuk berita. Tanyakan; ini informasi atau hiburan yang dikemas seperti informasi?
- Jangan mabuk tawa. Humor politik itu enak dikonsumsi, tetapi jangan lupa periksa bahan bakunya. Apakah faktanya akurat?
- Pisahkan pesan dari pengantarnya. Crier modern bisa terdengar netral, tetapi tetap menyampaikan versi yang sudah disaring. Cari apa yang enggak disebut.
- Ingat panggungnya punya siapa. Di abad pertengahan, panggungnya milik istana. Sekarang, panggungnya milik platform digital yang diatur algoritma, dan algoritma ini enggak netral.
- Bikin naskah tandingan. Jangan cuma jadi penonton. Kalo ada narasi yang menyesatkan, bikin versi kamu; meme, thread, video, apa pun.
Bedanya dengan masa lalu?
- Dulu: Penonton pasif yang hanya bisa membaca isyarat.
- Sekarang: Penonton-interaktif yang bisa teriak balik atau bahkan merebut panggung.
Kalau di zaman dulu jester dan crier adalah dua suara paling lantang di ruang publik, sekarang mereka hanya dua dari jutaan. Bedanya, kamu enggak lagi duduk di bangku penonton. Kamu bisa ikut naik panggung, asal berani dan tahu mau bawa cerita apa.
Sebagai penutup, saya cuma mau bilang; dunia ini panggung sandiwara.
***
Post Script:
Saya sendiri enggak nyangka ngebahas topik ini ngebawa saya ke mana-mana. Saya juga enggak nyangka tulisan ini malah jadi seserius ini…. Hiks.
Daftar Referensi (dengan tautan)
- Bakhtin, Mikhail. Rabelais and His World. Terj. Hélène Iswolsky. Cambridge, MA: MIT Press, 1968. Pratinjau Google Books
- Collins, Suzanne. The Hunger Games. New York: Scholastic Press, 2008. Situs Resmi
- Goffman, Erving. The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Doubleday, 1959. Arsip Internet Archive
- Herman, Edward S., dan Noam Chomsky. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York: Pantheon Books, 1988. Arsip PDF
- Horton, Donald, dan Richard Wohl. “Mass Communication and Para-Social Interaction: Observations on Intimacy at a Distance.” Psychiatry 19, no. 3 (1956): 215–229. Teks Lengkap
- Juvenal. Satires. Terj. Peter Green. London: Penguin Classics, 2004. Teks Latin- Inggris di Perseus Digital Library
- Noble, Safiya Umoja. Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism. New York: NYU Press, 2018. Situs Resmi NYU Press
- Orwell, George. Nineteen Eighty-Four. London: Secker & Warburg, 1949. Teks Lengkap (Domain Publik di negara tertentu)
- Pew Research Center. “Political Polarization & Media Habits.” 2014. Laporan Lengkap
- Williams, Raymond. Keywords: A Vocabulary of Culture and Society. Oxford: Oxford University Press, 1983 (edisi revisi). Pratinjau Google Books