Beberapa hari belakangan, saya mengikuti kasus pembunuhan Tiwi oleh rekan kerjanya di BPS Halmahera Timur. Saya menulis ini bukan untuk panjat sosial atau riding the wave, saya hanya ingin menceritakan satu hal yang sama yang saya hadapi di tahun kemarin; psikopat.
Pelaku pembunuhan di kasus Tiwi nyaris sama dengan yang saya temui di tahun lalu itu. Bedanya, dia (berpura-pura) jadi co-founder saya, sok baik, sok jadi cowok dari keluarga sederhana yang ingin maju (makanya saya sekolahkan dan bantu). Ketika masalah ini pecah dengan trigger pernikahan dia yang saya baru ketahui H-1 (dia menelepon pagi bilang dia mau nikah besok, datang ke rumah saya siang, dan ngobrol sama saya di Druma sampai menjelang malam), dimulai dari hari itu, saya akhirnya paham mahkluk apa yang ada di depan saya.
Dia bukan manusia.
He’s no longer human.
Dia setan.
Saya nulis itu bukan untuk menghina. Beberapa waktu setelah hari itu, saya mulai memahami pola dari manusia ini. Sesuatu yang dia sembunyikan dari saya bertahun-tahun dan akhirnya bisa saya pahami. Salah satu hal yang membuat mereka sama adalah; pembohong, banyak utang, penipu, enggak punya empati, dan memanfaatkan orang dengan cara memfitnah mereka.
Tulisan ini saya buat biar Manteman, yang baca tulisan ini, bisa tahu dan mendeteksi kayak apa mereka. Sampai di hari di mana saya memutuskan untuk menulis ini, saya belum pernah membuka dengan jelas tentang dia ini. Belum pernah menceritakan ke mana pun dengan detail kecuali ke Sinung karena dia yang membantu saya memahami pola manusia itu–mau nulis ‘manusia’ juga kayaknya kebagusan buat makhluk kayak gini.
Saya enggak akan menyensor apa pun yang mau saya tulis. Saya tulis apa adanya, saya kasih warning sekarang kalo Manteman sensitif dengan cerita seperti ini; jangan dibaca. Tulisan ini bukan buat menyebarkan aib karena yang dia kerjakan bukan kesalahan manusia normal, tetapi kejahatan.
Saya bisa mati.
Itu hal yang saya katakan berulang-ulang ke diri saya sendiri biar saya paham kondisinya kayak apa, tetapi sulit buat saya terima di awal-awal kasus ini kebongkar. Semua shock dan jijik yang saya rasakan membuat badan saya bereaksi dengan muntah. Sebulan setelah semua kebongkar, setelah muntah udah enggak ada lagi yang keluar kecuali ludah yang masam, hidung sudah merah dan bau darah karena mimisan, dan berat badan saya turun sampai 15 kilogram, saya minta sama Allah agar saya dibalas.
Bukan dia, tetapi saya.
Saya juga minta dibela karena ketika itu, tetapi Allah saja yang membela. Terserah caranya gimana.
Saya enggak yakin bisa menceritakan ini kronologis karena ingatan yang saya punya tentang makhluk ini tercampur jijik dan takut. Saya jijik karena saya ngeliat pembunuh Tiwi masih bisa memfitnah Tiwi yang sudah meninggal. Tiwi enggak bisa membela diri. Saya juga difitnah di sepanjang saya dekat dan kerja bareng dia, ternyata, dan saya baru tahu. Saya masih hidup, saya masih bisa membela diri sendiri. Makhluk kayak gini pula pola; ketika korban punya sesuatu yang bisa bikin mereka jadi jelek atau keliatan salah, korban harus difitnah.
Saya sangat membatasi untuk tahu apa-apa yang dia ceritakan ke orang lain tentang saya walopun ada beberapa yang sampai juga ke saya.
Kalo kamu lihat foto si pembunuh Tiwi, psikopat yang memanfaatkan saya bertahun-tahun juga bentuknya kayak gitu; wajah suram, mata kosong, bisa ketawa atau senyum ketika habis menyakiti orang. Kulit mereka kusam dan berminyak–saya baru tahu kalo ini ada hubungannya; kebusukan di dalam hati dan otak, bocor juga ke luar lewat kulit. Keduanya juga menikah dengan kondisi penuh penipuan. Pembunuh Tiwi mengambil uang Tiwi yang dia akui untuk judi. Sebelumnya, dia meminjam ke Tiwi dan enggak dikasih. Saya yakin sebagian dari cerita ini bohong. Si Psikopat (kita pakai saja panggilan ini untuk membedakannya dengan Pembunuh Tiwi), sama-sama mencari uang untuk menikah dengan menipu.
Si Psikopat menyembunyikan lamarannya yang dilakukan setelah lebaran dari saya padahal kami kerja bareng dan dia menelepon setiap hari karena di setelah lebaran itu, beberapa kali dia meminjam uang, mengambil uang dengan cara menipu (enggak ngebayarin biaya servis MacBook dan Apple Watch saya sampai saya harus cek ulang ke tempat servis), bilang dia perlu pinjam uang untuk alasan bertahan hidup, dan menipu dengan bilang ibunya sakit. Sebelum lebaran, dia wisuda. Dia ngumpetin juga wisudanya ini padahal dia bisa kuliah karena saya dan mentor saya yang bantu. Beberapa hari sebelum wisuda, dia baru bilang, dan saya enggak boleh datang dengan alasan, “Bapaknya (alm.) enggak mau ketemu saya karena saya enggak keliatan seperti cewek baik-baik.” Sambil bilang ini ke saya, dia juga menjelek-jelekkan bapaknya itu.
Saya akhirnya makan siang dengan keluarga mereka setelah wisuda yang kedua. Saya mau ketemu dan ngeliat keluarganya yang sering dia ceritakan tetapi enggak pernah dia kenalkan itu. Namun, di sana, saya merasa kayak jadi orang miskin tolol yang cuma datang untuk ngebayarin keluarga terhormat makan siang. Setelah selesai, dia bilang ke saya kalo bapaknya minta lain kali dibeliin oli aja. Makan di restoran sayang uangnya aja. Itu hari ulang tahun dia. Selain ngebayarin sekeluarga itu makan di resto menengah, saya juga bawa cake. Di jalan pulang, saya menahan nangis. Dia bilang, bapaknya emang sakit jiwa. Namun, semua cerita ini bisa jadi hanya karangan dia aja.
Dia ikut kedua wisuda dan foto-foto, dong. Orang kayak gini, enggak punya kepribadian. Semua yang dia lakukan hanya menampakkan casing karena isinya kosong. Foto wisuda adalah casing bagus untuk memperlihatkan dia berpendidikan. Persetan dengan bagaimana pendidikan itu dia tempuh. Dia dapat beasiswa, tetapi dia akui enggak pernah turun bahkan sampai dia lulus. Jadi, untuk dia bisa ke kampus dengan penuh gaya sambil bawa mobil, saya sering ngirim uang untuk dia bisa beli bensin. Kalo dia enggak bawa mobil dan kuliahnya kemalaman dan bis pulang ke rumahnya udah enggak ada, dia akan pinjem uang untuk sewa hotel murah. Belakangan, saya mempertanyakan urusan nginep ini, saya enggak yakin dia nginep sendirian. Dia punya pacar, tetapi bilang terlalu sibuk mikirin cewek karena lagi kuliah.
Psikopat ini tidur di mana-mana karena punya sifat yang sangat kompulsif.
Salah satu momen di mana saya jadi tahu beberapa orang teman-teman S1-nya adalah ketika ada kasus dia coli ketika menelepon saya untuk urusan kerjaan. Ini tahun 2020an. Saya marah, Sinung marah, dia menyembah-nyembah sambil menangis. Awalnya saya enggak tahu karena saya cuma dengar suara yang aneh. Beberapa kali terjadi, dia saya labrak, dia ngaku. Setelah itu, dia ngaku mengalami gangguan psikosis dan gejala awal skizofrenia, makanya dia enggak bisa mengendalikan perilakunya. Ini kejadian setelah dia balik dari KKN di Kais, Papua Barat.
Selama KKN itu, dia juga mengalami goncangan karena ada salah seorang teman perempuan dia di KKN itu yang memaksa dia berhubungan badan di rumah tempat mereka tinggal sementara. Sampai perempuan itu mengunci pintu dan memaksa dia. Dia shock dan tertekan, katanya. Kasus itu udah masuk pelecehan tetapi enggak mau dia laporkan karena dia mau menyembuhkan dirinya. Namun, dia enggak sembuh juga, dia bahkan mau bunuh diri. Sepanjang KKN itu, saya juga kirim uang karena dia jatuh dari perahu dan ketinggalan rombongan. Dia harus menyewa perahu selanjutnya. Bisa jadi, semua cerita ini juga bohong. Saya pun mencari keluarganya dan menghubungi kakak sepupunya ketika dia sudah balik dari KKN. Sepupunya ini bilang kalo dia sudah dibawa ke psikolog anak SEJAK KECIL dan diagnosanya adalah mitomania (pathological liar).
Pathological liar itu gejala, bukan penyakit.
Penyakitnya ada tiga kemungkinan; NPD, anti-social personality disorder, atau psikopat (psychopathy).
Saya pun diberi uang untuk membawa dia ke psikiater di RS. Adhiyaksa. Dia cuma mau datang sekali, trus bilang gejalanya udah hilang. Dia janji-janji enggak akan bohong lagi, rajin salat, ngaji, dan berbuat baik … yah, jadi manusia normal intinya. Waktu itu, saya enggak percaya dia psikopat karena enggak kelihatan begitu. Dia juga nyembah-nyembah minta jangan ditinggal. Nangis sampai teriak-teriak.
Setelah itu, saya udah sibuk urusan Poddium. Kasus ini pun saya anggap selesai dan sesekali saya masih minta dia cek ke psikiater. Beberapa kali pula dia bilang kalo dia udah ke psikolog dan udah baikan.
Setelah itu, dia jadi co-founder saya di Poddium, mulai awal 2020, setelah itu masuk masa pandemi.
Dia udah enggak pernah coli pas nelpon saya. Dia minta maaf dan bilang itu karena halusinasi dia. Namun, cerita tentang cewek-cewek yang mengejar-ngejar dia, dimulai setelah itu. Di cerita dia, banyak cewek yang suka dia dan minta dinikahi. Ini juga cerita bohong.
2-3 tahun kemudian, ketika kami intens ngerjain proyek, beberapa kali dia minta saya tidur sama dia. Toh, saya udah nikah, katanya. Toh, kalo hamil, enggak akan ketahuan. Yang dia enggak tahu dan mungkin semua orang yang pernah baca blog saya di masa lalu tahu, saya udah tubektomi sekalian ketika SC Tole. Itu tahun 2012. Saya menuliskannya di blog, itu informasi udah saya sebar di ruang publik. Bagian paling bikin shock dari ini … saya diceritakan pernah keguguran karena hubungan perselingkuhan dengan dia. Yaallah.
Sambil mimisan dan nangis nyeritain itu ke Sinung, saya bilang, “Lo tahu kayak apa gue pengen punya anak lagi setelah Tole. Ini ada setan bilang gue hamil dan keguguran sama dia. Kalo itu beneran kejadian, orang rumah ini akan tahu.” Saya masih tinggal dengan Mama dan Bapak saya sampai sekarang. Kalo kami meeting, saya dijemput dan diantar ke rumah. Saya enggak menyembunyikan dia dari keluarga saya.
Suatu ketika di tahun-tahun itu, ketika kami jalan ke Tegal, waktu itu ada proyek di sana, dia berhenti di rest area dan bilang udah enggak tahan mau coli. Saya duduk di jok depan, turun karena mual. Dia minta saya enggak turun. Dia mau sambil ngeliat saya. Saya tetep turun, pergi jajan. Ketika saya balik, saya masuk ke mobil karena saya enggak ada pilihan. Proyek harus jalan, saya ditunggu … tetapi di setir ada ceceran sperma. Saya suruh dia hapus pakai tisu.
Saya mau ngamuk, udah enggak ada tenaga. Saya bingung. Sehari-hari, dia baik, soft spoken. Mau ngamuk, dia enggak bisa dimarahin, pasti langsung kicep dan lari, atau duduk diem dengan fetus pose (posisi seperti fetus). Kalo saya marah dan ngamuk, dia nyembah-nyembah saya. Bilang saya adalah satu-satunya orang yang bisa menolong dia. Kalo dia ditinggalkan, dia bisa hancur. Apalagi waktu itu sudah ada 1-2 proyek masuk ke Poddium yang kebanyakan saya kerjakan sendiri, sebenarnya. Banyak waktu ketika saya minta dia kerja, dia sibuk ngurus ibunya masuk rumah sakit lah, bapaknya entah kenapa, lah, adiknya gini-gitu lah, saudaranya entah kenapa lah … dia jarang bekerja.
Saya enggak tahu dia punya pacar atau enggak di sepanjang waktu itu, di sepanjang tujuh tahun itu. Dia selalu bilang mau beresin diri dulu, mau mapan dulu, mau mastiin ada duit dulu, baru mau pacaran. Saya banyak menasehati dia tentang gimana seharusnya dia hidup. Dia kayak enggak ngerti apa-apaan gitu. Namun, 1-2 kali ada cewek yang DM saya di sosmed nanyain dia. Salah satu dari mereka nanya nomer dia karena dia ‘belum bayar’. Telepon dan chat masuk buat nagih utang dari pinjol juga ada. Dia bilangnya itu bukan utang dia. Adiknya yang luar biasa nakal ngambil KTP dia dan ngambil utang pinjol atas nama dia. Ini baru utang pinjol. Bisa jadi, cerita tentang adiknya ini juga bohong. Utang ke teman-temannya dan ke orang lain, pasti banyak juga.
Teman-teman dia, yang pernah saya hubungi, udah enggak berani saya hubungi lagi karena mereka diceritakan buruk ke saya. Keluarga dia, semuanya diceritakan buruk. Saya yakin, saya juga diperlakukan sama.
Mulut yang saya kasih makan bertahun-tahun, saya pastikan enggak pernah lapar, mulut yang sama juga fitnah saya ke mana-mana. Ini yang bikin saya jijik dan muntah. Yang paling parah dari ini semua, dia berani menipu mentor saya biar bisa jalan-jalan ke kampungnya dengan teman-temannya. Dia bilang ke Mas Mentor kalo dia harus ke Padang karena diminta Gubernur dan Bupati, yang adalah Bapak dari teman-teman pesantrennya ketika SMA untuk deal proyek. Semua ini bohong. Di jalan, dia cerita kalo teman-temannya beli oral seks, ‘minum’, dan ngeganja … tetapi dia enggak. Yeah, rite.
Selama dia jadi co-founder itu, dia selalu bilang kalo dia lagi usahain proyek di lewat sepupunya yang anggota dewan di daerah. Uang proyek Poddium selalu ditransfer ke dia karena memang itu tugasnya. Dia juga mengerjakan laporan proyek. Saya udah enggak mau ngecek lagi sebenarnya uang proyek itu gimana karena saya tahu, pasti ada yang ditilep.
Dua hari sebelum bapaknya meninggal, dia datang ke rumah saya. Hari itu dia harus nganterin barang saya dan kami ngobrol. Saya ngajak dia makan dan jalan-jalan di sekitar rumah, ini hal yang biasa saya kerjalan. Dia cerita tentang bapaknya, dia bertanya-tanya apa dia akan menangis ketika bapaknya mati. Saya heran dengan cerita itu tetapi saya enggak heran karena masa kecilnya disiksa sama bapaknya. Ini cerita dia, entah kebenarannya gimana. Dia juga dilecehkan oleh pegawai toko bapaknya. Dia ngebahas kepemilikan mobil yang suka dia pakai kalo bapaknya meninggal.
Dua hari kemudian, bapaknya meninggal. Saya enggak tahu harus mikir apa karena kebetulan sekali. Saya datang ke rumahnya dengan diantar Mama dan Bapak saya. Dia enggak nangis, matanya kering, enggak merah. Dia bahkan ketawa happy pas saya sampai dan beliin dia perlengkapan untuk di jalan karena jenazah bapaknya mau diantar ke kampung. Dia ambil uang di ATM untuk sewa ambulance. Saya masukin ke kantong kemeja dia uang saku dari saya untuk dia di jalan. Sampai di kampung, dia bilang kalo salah seorang ketua pemuda daerah yang mencarikan ambulance nilep duit yang dia kasih. Dari 11 juta, hanya 9 juta yang dikasih ke sopirnya.
“Lo liat, kan, gue ambil 11 juta dan langsung gue masukin kantong?”
Saya jawab, “Gue enggak liat. Gue lagi belanja.”
“Emang anjing itu orang nilep duit ambulance mayat bapak gue.”
Saya ceritain ini ke Mama saya dan ditanggapi, “Yakin bukan dia? Selama ini yang pencuri siapa?” Setelah itu, dia sibuk ngurusin pencairan asuransi jiwa bapaknya. Ketika itu, saya belum tahu kalo dia udah lamaran. Perilaku seksual kompulsifnya masih jalan setelah itu. Saya tahu karena dia bilang dan ada yang saya pergoki.
Dia suka cerita-cerita aneh yang kadang enggak saya tanggapi, tetapi di sepanjang saya dekat dengan dia, saya stres dan depresi (kayaknya). Saya bahkan enggak mau main sosmed karena takut. Takut di-chat orang nyariin dia. Takut liat entah apa di sana … saya juga enggak tahu. Sementara dia suka upload instastory ke mana-mana seolah lagi proyekan. Sebagian besar dari proyek itu punya Sinung, bukan dia.
Dia pelihara kucing, cerita 1-2 kali, kirim foto kucing 1-2 kali, setelah itu enggak ada kabarnya lagi itu kucing. Sebulan sebelum dia nikah, dia cerita kalo dia punya anak kucing karena ada induk kucing di sekitar rumahnya mati. Banyak kucing mati di sana waktu itu. Anak kucing ini, dia taroh di atas pohon kelapa kecil yang tingginya satu meter. Lalu, jatuh. Trus enggak bergerak. Sodaranya datang sambil mengeong. Dia cerita sambil ketawa. Bilang, “Kasian banget sodaranya itu kucing, megang-megang kucing yang udah mati.”
Saya jadi mikir, kucing-kucing lain yang mati di sekitar rumah dia itu….
Lalu teman kuliah meninggal. Saya enggak tahu kalo ternyata dia yang mengumpulkan uang takziah dari angkatan mereka, cerita ini saya ketahui belakangan. Ketika dia mengabarkan cerita meninggalnya teman dia ini, dia sambil bilang bahwa cewek ini dulu pernah nyosor dia di lift. Cewek ini suka sama dia.
Saya bilang, “Kok, gitu cara lo nyeritain kabar orang yang baru meninggal?”
Dia jawab, “Orang, kan, enggak tahu cewek ini gimana. Gue korban dia yang sangean.”
Cerita ini bohong. Dia berani memfitnah orang yang sudah meninggal.
Belasan cewek sangean ngejar-ngejar dia di sepanjang saya kenal dia, kalo menurut cerita dia. Cewek-cewek ini entah tahu dari mana kalo titit dia gede dan panjang, mereka mau coba–“Kalo mereka aja ngejar gue dan pengen banget, lo beneran enggak mau?” tanyanya. Saya dikirimkan fotonya, beberapa kali. Berakhir dengan saya ngamuk, dia nangis, kami berantem, dia bilang itu sakit mentalnya kambuh, jangan tinggalin dia, jangan cerita ke siapa-siapa, dia akan ke psikiater, minum obat, dan setelah beberapa lama, semua normal lagi, dia keliatannya berubah. Sementara.
Saya baru sadar, di tahun lalu, dia bukan sakit mental (doang), dia punya gangguan kepribadian. Bisa aja saya mati karena saya sering ketemu dia untuk urusan Poddium dan berpergian ke mana-mana.
Dia punya kebiasaan kompulsif urusan seks. Coli beberapa kali sehari, nonton bokep, langganan VCS, dan ini yang bisa saya pastikan. Sisanya, saya enggak tahu pasti, hanya bisa menduga.
Tulisan ini sangat menjijikkan ternyata.
Semua hal tentang kebiasaan kompulsif ini, dia balikin sebagai fitnah ke saya. Seperti belasan cewek-cewek yang sangean ngejar-ngejar dia, saya salah satu yang maksa dia buat ‘ngelayanin’ saya. Namun, di salah satu perjalanan dia dengan Sinung, waktu itu saya enggak ikut, dia nawarin pelacur ketika sampai di hotel. Dia bilang kalo satpam hotel nawarin dia. Sinung cerita malamnya ketika menelepon saya, mereka masing-masing dapat kamar sendiri. Sinung enggak tahu apa dia tidur sendirian malam itu.
Kalo Poddium lagi enggak ada proyek, dia dibawa Sinung untuk membantu Sinung. Lagi-lagi karena (ngakunya) dia enggak punya uang dan dia mau kerja apa aja. Kebanyakan dari kerjaan dia sama Sinung enggak beres. Omongan sama Sinung di mobil juga urusan selangkangan. Sinung enggak suka ngomongin yang kayak gitu dan pendiam. Lama-lama mereka diem aja.
Saya mergokin dia mesum di mobil di satu kunjungan keluar kota, saya pun difitnah jadi cewek yang mesum sama dia. Gimana saya enggak mau muntah.
Beberapa kali dia meeting dengan rekanan Sinung dan saya enggak ikut karena emang bukan proyek saya. Pulang meeting, dia akan cerita kalo dia tadi ngomong gini dan gitu, menawar dan deal ini dan itu. Kadang saya tanya ke Sinung apa yang dia omongin benar. Sinung jawab, “Dia diem aja tadi.” Kalo ini saya kejar dan dia saya paksa jujur, dia akan mengelak dengan bilang, “Gue cerita gitu soalnya kalo gue enggak perform, lo bakalan marah.” Menurut si pembohong ini, ngasih realitas alternatif ke saya itu solusi. Seolah saya enggak akan bisa ngecek. Ending-nya sama; saya marah, kami berantem, dia minta-minta maaf, kadang ilang dengan alasan menenangkan diri, trus balik dengan nyembah-nyembah. Saya ngerasa diri saya udah kayak berhala jadinya.
Selain pembohong, penipu, tukang fitnah, dan punya kebiasaan seksual yang kompulsif, ada satu hal yang bikin saya takut sama dia dan saya baru sadari setelah tahun lalu; dia meniru.
Dia meniru cara saya bicara, diksi yang saya pakai.
Dia meniru gaya berpakaian saya. Boots? Jeans? Kemeja?
Bahkan pose tangan di foto pernikahan dia, foto kelulusan angkatan S2 dia … itu pose Poppy, maskot Poddium. Sekarang pose itu sudah saya ganti. Saya jijik. Bahkan makhluk ini meniru maskot digital yang saya dapatkan dari Shutterstock.

Kebanyakan baju dia memang saya yang belikan dan pilihkan , tetapi dia bilang, “Yang kayak lo gitu….”
Saya punya seprai warna ungu yang saya beli di US karena Sinung enggak punya seprai ketika saya datang. Balik ke Indonesia, seprai itu sering saya pakai. Dia lihat di salah satu foto dan nanya itu seprai apa. Saya jawab. Beberapa waktu kemudian, dia kirim foto lagi kerja di depan Macbook, di atas kasur, dengan seprai yang warnanya mirip. Dia bilang ibunya jarinya patah, saya minta rekanan mencairkan sebagain dari uang proyek. Saya cek terus kondisi ibunya, dia mengelak bilang ibunya dijagain bapaknya jadi dia enggak ada foto ibunya di RS setelah operasi. Minggu depannya, dia pakai tas Marhen J yang saya bookmark di Tokopedia saya. PERSIS. Saya belum beli karena uangnya belum ada. Cerita ibunya ini, bohong.
Dia nonton film yang saya tonton. Dengerin lagu yang saya dengerin. Minum kopi di tempat yang saya suka. Sebelumnya, ketika saya baru ketemu dia pertama kali di tahun 2019, kami janjian di kantor BPS. Itu kali pertama dia masuk Starbucks. Dia bahkan enggak tahu cara pesan. Setelah itu, kalo ke mana-mana, musti mampir ke Starbucks. Yang bayar? Saya atau Sinung.
Saya bisa aja mati.
Makhluk ini bukan manusia.
Dia bilang setelah dia nikah kalo dia dipaksa menikah, mertuanya kaya … petinggi negara. Dia dipaksa menikahi ‘cewek ini’, begitu cara dia manggil istrinya, untuk menutupi perselingkuhan sepupunya dengan cewek ini. Kebohongan pun mengalir, setiap hari. Dia diberi apartemen mewah di Bintaro sebagai hadiah dari mertua setelah pernikahan mewah full dibiayai mertua ratusan juta dan tamu-tamunya semua pejabat, bulan madu ke Jepang dan Thailand, lalu tahun depannya naik haji. Semua cerita ini bohong. Dia pacaran normal, lamaran normal, nikah normal. Dia pinjam uang di Agustus tahun lalu setelah nikah karena ibunya masuk UGD, yang mana akhirnya saya paham itu untuk makan dia dan istrinya.
Setelah saya tahu ini semua, saya telepon sepupunya itu. Saya ceritakan semua. Sepupunya mengkonfirmasi cerita saya ke Sinung dan Mama saya. Setelah itu … enggak ada apa-apa. Utang dia yang lebih banyak dari yang dia akui itu, kayaknya enggak akan dibayar. Mama saya menagih, dicuekin. Sinung menagih ke sepupunya, dicuekin juga.
Sepupunya cuma bilang, “Semoga masalahnya cepat selesai, ya.”
Saya pun ke Sydney.
Di hari-hari terakhir di Jakarta, bangun pun saya udah enggak kuat. Paspor saya dibantu pembuatannya oleh teman saya, selesai sehari, diambil tanpa antri. Visa keluar dua hari. Ini ajaib karena visa Australia itu biasanya lama dan susah. Di masa-masa itu, seperti yang sudah saya tulis di atas, ketika muntah yang keluar udah tinggal ludah masam, napas bau darah karena sering mimisan, makanan enggak bisa masuk, dan saya makin kurus dan lemah, saya minta saya dibela. Terserah gimana caranya.
Satu lagi yang saya minta, saya mau Poddium saya balik ke saya.
Saya cerita ke mentor saya tentang semua kejahatan dia, tetapi enggak detail. Saya juga difitnah ngejar-ngejar si Mas Mentor ini. Di cerita dia, saya lonte yang ngangkang ke setiap orang.
Sepanjang September sampai Desember 2024, saya masih chat dia dan hanya dibaca aja. Dia enggak matiin centang biru. Saya paham, orang kayak gini enggak akan mau kehilangan kontrol, enggak mau kelihatan kalah. Saya baik-baikin dia di sepanjang chat-chat itu karena … saya tahu, saya bisa mati. Keluarga saya masih di Jakarta, ada anak-anak di rumah. Makhluk ini bahkan bisa pakai CC saya untuk belanja. Salah satu hal yang dibantu Sinung pertama kali ketika saya bilang saya mau dilindungi dan dibela adalah; ngurus semua akun, semua PIN, semua akses ke semua devices. Dia bahkan bisa masuk ke Apple ID saya. Di sepanjang waktu saya dekat dengan dia, emang dia kayak orang enggak waras, tetapi kebanyakan waktu dia memperlihatkan diri kayak anak kucing yang nunggu dielus karena baru disiram air sama orang jahat, saya sering enggak tega.
Saya kadang bertanya ke diri saya; segini gampang saya dibodohi, apa saya diguna-guna? Atau saya emang dimanipulasi aja.
Di awal-awal, saya mikir kalo ini semua salah saya. Saya kurang sabar, saya enggak memahami dia, dan sebagainya. Seiring waktu berjalan, saya akhirnya paham; kebaikan, kejujuran, dan integritas itu lurus karena itu mudah dilihat dan enggak perlu dijelaskan bolak-balik. Kalo ada orang yang ribut terus merasa diri mereka disalahpahami, ini red flag.
Saya pun ke Sydney karena Sinung minta saya datang secepatnya. Dia pikir, saya musti keluar jadi Jakarta segera. Saya pikir, awalnya, saya akan menghabiskan waktu dengan menangis dan tidur selama di sana. Di pesawat yang durasinya delapan jam, saya cuma duduk, nangis. Kata Sinung, ketika dia lihat saya di bandara, saya kumuh, kurus, dan lunglai. Saya dibiarkan tidur, dikasih makan, tetapi–mungkin ini bagian paling lucu dari ini semua–saya cuma dikasih kartu Opal untuk transporasi umum dan saya dibiarkan sendiri mau ke mana-mana. Sinung di lab dari pagi sampai sore.
Saya pikir saya akan tidur dan menangis lama-lama, berbulan-bulan. Ternyata enggak.
Dua hari kemudian, saya harus bangun. Proposal AI saya diterima di inkubator MQI di kampus. Sejak hari itu, tiba-tiba semua berubah. Selama di Jakarta, enam tahun, saya bertanya-tanya kenapa Poddium enggak pernah bisa besar dan berkembang. Sekarang saya tahu, karena emang ada binatang yang menggigit saya di dalamnya, menipu, bilang kejar proyek ini-itu, perlu ongkos, dan saya hanya boleh nunggu kabar dari makhluk itu, dan ternyata … semua bohong. Lebih sakitnya lagi, dia bisa kasih foto-foto seolah dia rapat sama teman-temannya yang katanya akan bantu dia proyekan itu. Entah bagaimana dia bisa mengatur hal kayak gitu.
Makhluk itu bilang Poddium akan besar 3-4 tahun lagi karena itu dia nikah tahun ini dan dirahasiakan. Trus cerita makin enggak bener karena nikah buat nutupin aib. Trus cerita lagi kalo saya nyuruh dia cerai. Saya diem karena saya kaget, itu mulut yang saya kasih makan. Yang kalo abis meeting dari Jakarta, dia pulang sering saya bawakan oleh-oleh makanan buat ibu dan bapaknya.
Saya di Sydney dengan kaget karena banyak bantuan untuk Poddium sampai hari ini. Apa yang saya mau dikabulkan di sana. Namun, saya juga paham, saya ke Sydney juga karena saya harus enggak bisa dijangkau, karena bisa aja … bisa aja, saya dimatikan. Saya pegang banyak rahasia dia. Yang saya tulis di sini pun belum semuanya.
Saya enggak dikasih waktu istirahat. Tiba-tiba saya punya kantor, tiba-tiba saya harus meeting, tiba-tiba saya ngurusin legal mindahin Poddium dari perusahaan Australia. Saya ditolong. Kalo di sepanjang waktu itu saya enggak ditolong dan dibuat sibuk kayak gitu, saya bisa gila. Allah membela dengan cara yang saya pahami emang paling pas dengan saya; bekerja dan ngebangun ulang dignity. Sampai kalo saya difitnah lagi ke orang lain, udah enggak ada yang bisa bilang saya jahat dan gila, seperti kata dia.
Kadang datang ingatan tentang perkataan atau tindakan makhluk itu dan saya muntah.
Suatu ketika, saya ingat, kami mau meeting dan saya minta antar jemput anak-anak dulu di SD. Sambil nunggu di parkiran, dia bilang, sambil nunjuk anak-anak yang sedang keluar pagar sekolah, “Kayaknya gue enggak pedofil, deh. Ngeliat anak-anak itu gue enggak sange.”
Saya bingung nanggepin perkataan seperti itu.
Iya, kebanyakan waktu ada celetukan aneh-aneh kayak gitu dan saya bingung menanggapinya. Kalo saya marah, dia akan minta maaf, bilang khilaf, trus disambung-sambungin ke depresi, skizo, atau apa pun lah penyakit jiwa yang menurut dia, dia punya.
Di salah satu perjalan ke meeting, ke luar kota … saya bisa dimatikan.
Orang-orang kayak gini bisa ketawa setelah nyakitin orang lain. Bisa bohong tanpa mikir, Bisa fitnah tanpa berkedip. Bisa nipu tanpa rasa bersalah.
Mereka no longer human.
Saya udah lama mau cerita ini. Di Januari 2025, saya dan Sinung memutuskan untuk ngasih tahu mertua dari makhluk ini. Setelah itu, saya tutup buku. Namun, kejahatan pada Tiwi bulan lalu ngebuat saya sadar; saya juga pernah dekat dengan psikopat. Ngeliat gerak-gerik dan wajah pembunuh itu, mirip dengan si psikopat itu.
Kelakuan mereka sama; judi, nipu, utang, bohong, fitnah, kompulsif secara seksual, ngaku punya gangguan jiwa, enggak punya jiwa karena itu meniru orang yang mereka jadiin ‘contoh ideal’, mendekati orang atau keluarga yang dia bisa manfaatkan, tetapi di luaran memperlihatkan seolah mereka lembut, sopan, perlu dibantu, pengertian, calon suami ideal yang soleh dan pekerja keras. Kalo kamu nemu salah satu atau beberapa pola ini dari seseorang, lari!
Saya cerita sekarang karena saya mau Manteman yang baca ini lihat, makhluk kayak gitu ada. Berita pembunuhan setiap hari ada. Kita bisa dimatikan. Mereka berkeliaran. Mereka punya ciri, seharusnya bisa dideteksi.
Saya enggak bisa deteksi mereka karena terlalu percaya mereka memang lemah dan perlu dibantu. Sekarang enggak lagi. Orang naif kayak saya emang perlu dihajar pakai realitas dunia yang semakin hari semakin menyeramkan ini.
Berkali-kali Sinung bilang sama saya, “Lo diselamatkan.”
Saya enggak percaya awalnya. Apanya yang selamat? Saya hancur. Poddium hancur. Saya bahkan enggak berani ketemu sama mentor dan kenalan-kenalan di Jakarta yang udah banyak bantu Poddium selama enam tahun itu. Akhirnya, beberapa bulan lalu, saya paham bahwa saya emang dibantu dan diselamatkan, dengan cara yang dalam mimpi paling liar saya pun enggak pernah terlintas.
Saya ngasih laporan ke mertua makhluk itu dari Sydney, di masa di mana fitnah apa pun enggak akan bisa dipercaya, bukan di bulan-bulan awal di mana saya masih emosional dan enggak bisa mikir. Waktu itu juga saya tahu, usaha saya bisa jadi enggak akan diterima dengan baik. Saya berniat menyelamatkan, tetapi apa orang yang mau saya selamatkan mau diselamatkan? Lima bulan tanpa penghasilan (karena biasanya memanfaatkan belas kasihan saya dan utang), tanpa pekerjaan (karena biasanya setiap bulan pasti meeting ke Jakarta), dan tanpa siapa pun yang menghubungi (karena biasanya komunikasi untuk urusan Poddium ke orang luar makhluk itu yang handle), harusnya itu semua bisa memberatkan laporan saya.
Sisanya, saya diselamatkan.
Psikopat itu ada. Kita bisa dimatikan. Seharusnya, mereka bisa dideteksi.
Salah satu doa saya sekarang; semoga makhluk itu jadi gila–semua penyakit jiwa yang dia pakai buat menipu, semoga ditumpuk dan dikasih ke dia di satu waktu. Orang gila akan jadi beban keluarganya, keluarga yang udah ngebikin dia jadi makhluk kayak sekarang, tetapi orang gila udah enggak bisa menyakiti orang lain dengan manipulasi atau cara jahat karena mereka berpikir pun udah enggak mampu.
Satu pola lagi yang saya pelajari dari makhluk kayak gini; keluarga mereka, setelah semua kebongkar dan ketahuan, selalu bilang, “Kami juga enggak nyangka, dia baik, kok, di rumah….” Padahal mereka terlibat di urusan pengasuhan sedari makhluk ini kecil. Bisa jadi makhluk ini disiksa atau hidup dalam kekerasan sejak kecil makanya enggak pernah tumbuh jadi manusia. Keluarga mereka tinggal angkat tangan bilang kalo mereka udah dididik dengan baik. Bibit itu penting ternyata.
Semoga dia gila. Biar enggak ada lagi yang bisa dia sakiti.
Psikopat itu ada. Saya enggak tahu makhluk itu ada di samping saya bertahun-tahun karena topengnya sempurna. Saya bisa aja dimatikan.
Saya enggak mau ada psikopat lain yang enggak kedeteksi. Kalo ketemu mereka, lari. Mereka enggak akan lari dari panggung mereka. Mereka pikir, selama mereka bisa bohong, fitnah, mengkotak-kotakkan orang sehingga enggak saling mengecek, mereka akan baik-baik saja.
Kalo log ingatan saya tentang makhluk ini musti ditulis, mungkin tebalnya akan lebih dari novel Dostoevsky. Saya juga berdoa agar saya lupa dengan makhluk ini, enggak ada lagi ingatan yang datang tiba-tiba dan jadi sesuatu yang harus saya pecahkan, tetapi saya juga mau terus ingat pelajarannya. Psikopat itu ada.
Bisa jadi makhluk kayak gitu ada di samping kamu, sekarang.
Makhluk itu sudah datang ke saya. Saya pahami polanya. Saya tuliskan di sini. Kalo Manteman ngeliat ada mahkluk kayak gitu di dekat kalian, lari lah … sampai di jarak aman. Kita bisa aja dimatikan.
Kalo mereka mematikan manusia lain, mereka enggak akan merasa bersalah. Lihat si anjing yang ngebunuh Tiwi. Lihat Dahmer. Lihat Ted Bundy. Lihat John Wayne Gacy. Mereka semua serupa. Seperti dijahit dari gulungan kain yang sama.
Apa saya udah nulis kalo di hari keempat setelah akad dan istrinya masih di apartemen murah yang mereka pakai untuk bulan madu, dia ke Jakarta, sewa hotel, trus ketemu cewek lain? Saya udah enggak bisa melanjutkan nulis kelakuan makhluk ini, tetapi saya pastikan hal ini sudah saya tulis di laporan saya ke mertuanya.