Si Tuan selalu bilang saya pinter banget. Selalu,saya cuma ketawa, sambil dalam hati mikir, “Yaaa … pinter, sih, tetapi isi kepala saya tuh kayak kabel charger nyangkut di kipas angin; berisik, muter terus, dan kalau disentuh bisa nyetrum.”
Pikiran saya sering ruwet sendiri. Rasanya seperti nyasar di jalanan sempit yang penuh belokan tanpa rambu. Kadang saya bahkan enggak tahu apa yang sebenarnya saya pikirkan sampai saya tulis atau sama omongin. Bentuknya harus berubah dari sinyal-sinyal sinapsis di otak jadi sesuatu yang lebih konkrit; tulisan atau omongan (suara). Makanya, satu-satunya cara untuk merapikannya adalah dengan menulis atau bikin voice note (kadang ke orang lain, lebih sering ke diri sendiri). Blog ini seperti rutinitas bebenah personal di dalam kepala saya sendiri; tiap kali saya nulis, ada satu ruangan yang tadinya gelap dan berantakan pelan-pelan jadi kelihatan bentuknya.
Blog saya sepi. Kadang rasanya seperti rumah kosong yang tetap saya sapu tiap hari. Enggak ada tamu, enggak ada pesta. Tetapi, yaaa … enggak apa-apa. Saya enggak ngerapiin pikiran saya buat pamer ke orang. Saya ngerapiin ini semua karena saya tinggal di situ. Namun, kalo kamu mau main-main dan datang ke sini, silakan….
Saya akan bilang, “Maaf kalo masih berantakan….”
(づ ̄3 ̄)づ╭❤️~

Logbook Internal
Saya gampang lupa. Bukan cuma lupa hal remeh kayak naruh kunci sepeda di mana, tetapi juga lupa sama versi diri saya yang dulu—yang pernah marah, pernah semangat, pernah putus asa, pernah optimis. Hidup itu banyak belokannya. Kadang saya jalan terus, tetapi enggak sadar udah muter-muter di situ-situ aja sebenernya.
Rasanya hidup ini kayak jalan di tempat asing yang berkabut. Saya cuma bisa lihat lima langkah ke depan, selebihnya samar. Di situ blog jadi penting, catatan yang saya tulis sendiri itu semacam peta. Atau lebih tepatnya; peta samar yang dibentuk dari jejak saya sendiri, digambar oleh saya, tetapi dengan garis-garis yang—anehnya—selalu pas. Saya percaya, di balik semua kebetulan hidup ini, ada yang mengarahkan. Dan, catatan saya bikin saya sadar, pola itu bukan random. Itu petunjuk.
Saya pernah ngalamin momen di mana hidup saya kayak dibolak-balik. Saya keluar dari situ hidup-hidup, tetapi dengan identitas yang udah berantakan. Dalam momen kayak gitu, saya butuh lihat lagi siapa saya sebelum semua itu. Dan, lebih penting lagi, saya harus tahu mau saya jadi siapa setelahnya.
Blog ini jadi logbook internal saya. Saya enggak bikin buat dikenang orang. Saya bikin supaya saya sendiri bisa akses ulang diri saya. Kadang saya lupa saya pernah nulis apa, tetapi begitu dibuka lagi, saya bisa bilang: “Oh, ternyata saya pernah ada di titik itu.” Itu membantu banget buat tahu, sejauh mana saya udah melangkah.
Seringkali, saya keingetan kalo duluuu … banget saya pernah ingin melakukan sesuatu atau dapet sesuatu, trus saya lupa. Tahun berlalu, banyak pengalaman, kejadian, dan hal-hal yang berlalu … trus, saya baru inget kalo banyak hal yang saya punya hari ini adalah apa yang saya ingin di masa-masa yang lalu itu. Gimana saya sampai ke sana dan dapet itu semua, kadang saya enggak tahu. Sampai saya sekarang yakin kalo hidup emang enggak bisa diprediksi dan dikontrol. Yang bisa saya lakukan hanya berusaha sebaik-baiknya. Setelah itu … yaudah, we’ll see.
Konsep ini, namanya; tawakal.
Voice Note yang Panjang-panjang Itu dan Bisa Jadi Podcast~
Saya punya teman yang suka kirim voice note panjang—bisa tiga menit, bisa lima, kadang sepuluh. saya juga suka kirim voice note buat gantiin chat. Itu satu voice note, ya. Jumlah yang dikirim bisa banyak, hahahaaa~ Isinya bukan buat ngobrol sama saya sebenarnya, tetapi buat dia sendiri. Dia bilang, voice note itu semacam tempat buat ngerapiin pikiran. Saya, sih, senang-senang aja dengerinnya, karena kadang saya jadi ikut mikir. Refleksi itu ternyata bisa nular.
Buat saya, blog juga punya fungsi yang sama. Tempat saya ngomong ke diri sendiri. Tempat saya merapikan pikiran yang kusut dan bikin mereka duduk berbaris satu-satu.
Dalam tasawuf, ada konsep yang namanya muhasabah. Introspeksi. Ngelihat ke dalam. Evaluasi diri sendiri secara jujur. Nulis blog buat saya jadi alat muhasabah yang paling nyata. Di situ saya bisa lihat pola-pola yang berulang; kebiasaan yang enggak berubah, kesalahan yang saya ulangin, hal-hal kecil yang ternyata penting.
Al-Ghazali bilang, orang yang enggak pernah muhasabah itu kayak orang buta jalan di hutan; lo bisa jalan jauh, tapi lo enggak tahu lo ada di mana. Dan, itu serem.
Makanya saya berusaha jujur. Enggak ngibul ke diri sendiri. Enggak pura-pura jadi siapa-siapa. Karena saya percaya, jujur ke diri sendiri itu cara bertahan hidup. Mengenal diri itu kayak punya data pribadi; lo tahu kondisi, lo tahu kebiasaan, lo tahu kelemahan. Dengan data yang lengkap dan benar, kita bisa ambil keputusan yang lebih baik.
Sampai di sini, saya jadi pengen buat vlog yang isinya saya bacot doang sambil makeup-an atau duduk di taman.
Bagian di Bawah Ini Ada Referensinya, Ciyeeeh~
Banyak orang nulis buat healing dan enggak ada yang salah sama itu. Namun saya sadar, buat saya pribadi, menulis bukan soal penyembuhan. Ini bukan tentang menyembuhkan luka, bukan tentang self-love.
Ini lebih dekat ke audit.
Saya nulis karena saya perlu ngecek ulang. Lihat ke dalam. Tanya ke diri sendiri; ini beneran saya? Ini keputusan saya? Atau saya cuma keikut arus dan lupa mikir?
Ada riset yang bilang bahwa mencatat bisa memperkuat memori dan kemampuan berpikir. Salame dan Tuba (2024) menyebut kalau menulis bukan cuma menuang pikiran, tetapi juga ngebantu otak kita ngelola pikiran itu. Saya ngerasain itu banget. Kadang setelah nulis, saya jadi tahu apa yang sebenarnya saya rasain. Sebelum itu? Ruwet aja terus di kepala.
Masalahnya, menurut Vrika (2023), kebiasaan menulis pribadi sekarang makin langka. Banyak orang tahu manfaatnya, tetapi nggak konsisten. Termasuk saya, kadang. Namun ketika saya berhasil duduk dan nulis, saya merasa lebih utuh.
Jadi, bukan karena saya tersakiti dan butuh sembuh makanya saya nulis. Justru karena saya sadar. Sadar saya harus tahu apa yang sedang saya alami, sedang saya pikirkan, dan sedang saya jalani. Menulis jadi cara saya buat tetap terhubung sama diri sendiri.

Heidegger punya konsep yang namanya Geworfenheit—keterlemparan. Dia nulis soal ini di bukunya yang paling terkenal, Being and Time (1927). Intinya, manusia itu dilahirkan tanpa ditanya, langsung ada di dunia yang sudah berjalan, dengan sejarah, budaya, dan situasi yang enggak dia pilih. Kita semua cuma … tahu-tahu udah ada di sini, lalu disuruh hidup, disuruh mikir, disuruh cari makna. Padahal kita bahkan enggak dikasih peta.
Saya sering merasa seperti itu juga. Bangun pagi, jalanin hari, terus mikir, “Sebenernya gue lagi ngapain, sih?” Kadang hidup terasa kayak teater yang kita masukin di tengah pertunjukan—enggak tahu perannya siapa, naskahnya mana. Eggak jarang, pertanyaannya justru makin banyak daripada jawabannya.
Menulis, buat saya, jadi semacam cara bertahan. Saya mungkin enggak bisa nemuin semua jawaban, tetapi saya bisa mulai merumuskan pertanyaan. Nulis bikin saya berhenti dan nanya, “Ini pikiran beneran dari gue? Atau hasil nyerap dari luar?” Dalam dunia yang terus ngajak kita bergerak, nulis itu momen buat duduk.
Blog ini jadi ruang sunyi yang saya pilih sendiri. Di luar sana mungkin ribut, tetapi di sini saya bisa tenang. Sunyi memang bisa bikin takut, karena kita harus denger suara kita sendiri. Di sini saya bisa membedakan; mana suara saya, mana gema orang lain.
Makna itu enggak selalu muncul sebagai jawaban besar. Kadang dia hadir diam-diam, waktu saya selesai nulis satu paragraf dan ngerasa, “Oke, gue ngerti sedikit lebih banyak soal diri gue hari ini.” Itu cukup. Untuk sekarang.
Pengen Nge-Vlog
Saya mungkin akan nge-vlog suatu hari nanti. Kayaknya lebih gampang; tinggal rekam, ngomong, edit dikit, upload.
Namun, tulisan itu punya kejujuran yang lebih telanjang. Waktu saya nulis, saya enggak bisa sembunyi di balik intonasi, ekspresi wajah, atau pencahayaan yang bagus. Kalau saya ngibul, tulisan saya yang pertama kali akan protes. Dia akan terlihat dipaksa, enggak enak dibaca, atau bahkan kosong.
Tulisan itu medium yang lebih pelan, tetapi juga lebih dalam. Dia ngajak saya berhenti, mikir, milih kata. Dalam proses itu, saya juga pelan-pelan ngupas isi kepala saya sendiri. Enggak ada efek suara, enggak ada filter, cuma saya dan kata-kata dan isi kepala saya sendiri yang saya ajak ngobrol.
Jadi meskipun vlog mungkin lebih praktis dan cepat, tulisan tetap jadi cara paling jujur buat saya ketemu diri sendiri.
Kadang, Suka Ragu Juga, Sih….
Kadang saya mikir, “Apa tulisan saya bakal nyinggung orang, ya?” atau “Apa nanti ada yang tersulut, terus malah jadi perdebatan yang enggak saya niatkan?” Pikiran-pikiran kayak gitu bisa bikin jari saya berhenti di atas keyboard, ngeraguin tiap kalimat sebelum selesai ditulis.
Namun, belakangan ini saya juga mulai mikir sebaliknya; bisa jadi, justru tulisan saya itu punya manfaat. Bukan buat semua orang, tentu, tetapi mungkin buat satu-dua orang yang baca dan kebetulan lagi di fase yang sama.
Hidup saya itu unik. Sama kayak hidup tiap manusia yang lain. Karena enggak ada yang persis sama, cerita hidup jadi penting. Jadi bahan belajar. Jadi refleksi.
Masalahnya, kadang kita terlalu takut. Takut dikira pamer. Takut dibilang ‘nanti kena penyakit ‘ain’. Takut disangka nyindir. Namun anehnya, cerita hidup orang lain tetap dikonsumsi ramai-ramai. Buku memoar laku. Podcast curhat naik daun. Jadi jangan-jangan, kita semua sebenarnya suka dengar dan baca cerita hidup orang lain karena itu bikin kita belajar … cuma kita terlalu takut dibilang bergosip.
Saya rasa, selama niatnya jujur dan bukan buat nyerang siapa-siapa, saya akan tetap nulis. Karena bisa jadi yang saya tulis bukan cuma bermanfaat buat saya pada akhirnya, bisa jadi itu juga ada manfaatnya buat orang lain, yang belum sempat atau belum berani ngomongin hal yang sama.
Kadang saya mikir, gimana kalau saya berhenti nulis? Kalau semua pikiran yang lewat di kepala cuma numpuk, terus pelan-pelan lenyap begitu aja?
Mungkin saya akan lupa siapa saya. Enggak dalam arti lupa nama atau tanggal lahir, tetapi lupa pola pikir saya, nilai yang saya pegang, alasan kenapa saya ngambil satu keputusan tertentu di masa lalu.
Mungkin saya bakal kehilangan jejak. Hidup saya jalan terus, tetapi kayak jalan di pasir; enggak ninggalin tapak yang bisa saya lihat balik.
Makanya saya nulis. Supaya ada bukti bahwa saya pernah mikir. Pernah meragukan. Pernah yakin. Pernah salah. Pernah berubah pikiran. Nulis bukan buat orang lain, tetapi buat saya yang akan lupa.

Penutup
Blog ini bukan buat orang lain. Bukan buat viral. Bukan buat branding diri. Ini buat saya. Tempat saya naroh pikiran, perasaan, dan pertanyaan—meskipun seringnya saya sendiri yang lupa baca lagi.
Karena saya tahu akan tiba saatnya saya butuh bukti bahwa saya pernah mikir. Pernah ada di satu titik tertentu dalam hidup. Pernah meraba-raba jalan. Pernah ragu. Pernah yakin. Mungkin saat itu saya butuh nginget lagi: “Oh, ternyata gue pernah nulis ini.”
Kalopun nanti saya benar-benar lupa baca ulang … ya, setidaknya jejaknya ada. Meskipun, yaaa … kemungkinan besar saya tetap skip bacanya. Namun, yaaa … sudah. Yang penting; saya udah nulis.
Manteman ngapain aja hari ini?
(👉゚ヮ゚)👉
Referensi
- Al-Ghazali. (n.d.). Ihya Ulumuddin. Terjemahan bebas berbagai edisi. Konsep muhasabah sebagai evaluasi diri dalam kehidupan spiritual Islam.
- Heidegger, M. (1927). Being and Time (Sein und Zeit). Niemeyer. Konsep Geworfenheit (keterlemparan) sebagai kondisi eksistensial manusia.
- Salame, R. & Tuba, K. (2024). Memory and Thought: Cognitive Benefits of Personal Journaling. Journal of Cognitive Psychology, 38(1), 45–62.
- Vrika, L. (2023). The Decline of Personal Writing in the Digital Age. Digital Expression Review, 12(3), 78–89.