Tulisan ini adalah pendapat personal yang dikumpulkan dan berusaha diartikulasikan menjadi tulisan–yang mana, ternyata susah karena selama ini saya enggak pernah terlalu memikirkan mengapa saya suka novel tertentu dan enggak suka novel yang lain. Namun, setelah kemarin saya nonton podcast Mark Manson yang bintang tamunya adalah Robert Greene dan di hari berikutnya, saya nonton podcast-nya Jordan Peterson, terus malamnya saya gelindingan mikir, mungkin sekarang saya udah bisa jawab pertanyaan yang sekaligus menjadi judul tulisan ini; cerita yang menarik itu yang seperti apa, sih?

Saya enggak banyak membaca fiksi dalam negeri. Bukan karena enggak ada yang bagus, tapi entah kenapa saya enggak punya aja gitu bukunya–enggak beli atau enggak pinjam. Beberapa novel yang saya baca di tahun ini berbahasa Inggris semua. Bukan buat gaya-gayaan ini, ya, tapi emang saya baca yang saya ingin dan saya suka temanya. Setahun ini, tema yang saya suka adalah post-human. Kalo Manteman mau baca tulisan saya yang mungkin isinya adalah review dan cirepet tentang post-human dalam fiksi, boleh lah kapan-kapan saya tuliskan–kalo saya enggak lagi males atau … saya ketemu lagi sama novel dengan tema post-human dan ngebikin saya sampai susah tidur kayak trilogi Three Body Problems. 😀
Di tulisan ini, saya mau coba jelaskan tiga poin aja, sih:
- Fiksi yang saya suka itu yang kayak apa?
- Apakah ada hubungannya ‘menjadi manusia’ dengan fiksi yang–menurut saya–bagus?
- Trus, kenapa manusia suka kisah nyata atau terinspirasi dari kisah nyata?
Sebelum saya mulai, kita nikmati dulu foto curug di belakang kampus, yah~ 😀

Di tautan video Youtube di bawah ini, mulai dari menit 48:00, Robert Greene bicara tentang bagaimana manusia jaman dulu, kayak modelannya Jane Austen, Plato, Dante, dan pemikir lainnya beberapa ratus tahun yang lalu, mereka menggunakan manusia sebagai objek pemikirannya–objek riset mereka. Jaman itu, belum ada sosial media dan hiburan ‘cepat’ lain, yang mereka jadikan manusia sebagai hiburan. Mereka memperhatikan manusia, memikirkan apa yang mereka lakukan, bagaimana pola mereka. Sederhananya; pengamatan dan pemahaman mereka terhadap perilaku dan pemikiran manusia yang kemudian membuat mereka bisa meramu timeless wisdom (yang saya artikan dengan longgar sebagai; kearifan kekal).
Buku yang mereka tulis–fiksi atau nonfiksi–kemudian diisi dengan hasil pengamatan yang dalam tentang bagaimana manusia menjadi manusia dan juga bagaimana mereka berinteraksi dengan manusia lainnya. Penulis di jaman itu menjadikan manusia seperti sirkus yang menarik buat mereka dan sumber inspirasi untuk mereka bisa menulis sesuatu yang di dalamnya bisa dimasukkan hasil observasi yang dalam. Hasil observasi ini yang kemudian bisa membuat sebuah karya menjadi enggak lekang oleh waktu.
Itu yang membuat buku-buku lama itu masih relevan dengan masalah manusia jaman sekarang; manusia yaaa … begitu-begitu aja. 😀
Di Dante, Inferno, misalnya. Di salah satu wawancara dengan Jordan Peterson, dia menjelaskan tentang lapisan-lapisan neraka dan lapisan yang paling bawah diisi oleh orang-orang yang melakukan penghianatan. Jordan Peterson ini adalah psikiater klinis dan profesor. Dia menggunakan Inferno sebagai penjelasan tentang filosofi kebaikan dan kejahatan yang akarnya adalah filosofi agama sebenarnya. Dia menjelaskan bahwa semua trauma itu datang dari kejahatan yang dilakukan satu manusia ke manusia lain, dan itu juga yang membuat manusia masuk neraka. Setiap lapisan neraka itu diisi oleh kejahatan tertentu. Kejahatan yang paling jahat dan letaknya adalah di lapisan paling bawah neraka adalah; penghianatan (betrayal).
Hubungan satu manusia dengan manusia lainnya harus dilandasi oleh kepercayaan bahwa manusia enggak akan menyakiti manusia lainnya. Manusia bisa mempercayai manusia lainnya. Untuk manusia bisa punya hubungan yang baik dengan manusia lainnya–termasuk hubungan cinta, pernikahan, dan keluarga–adalah; kepercayaan. Ketika ada salah satu yang melanggar kepercayaan itu, maka akan ada penghianatan. Penghianatan inilah yang menjadi kejahatan yang paling jahat karena datang dari satu pihak yang dia tahu bahwa dia dipercayai oleh pihak lainnya, tapi dia memilih untuk tetap menyakiti pihak lain itu. Dan, sakit atau trauma dari penghianatan ini adalah yang paling sakit–bisa ditanya ke orang-orang yang pernah dihianati.
Kalo kamu belum pernah, saya bisa bilang bahwa; ketika kamu menghadapi penghianatan besar untuk pertama kali, maka yang kemudian kamu kembangkan–karena setelah itu kamu akan punya banyak waktu berpikir dan memperbaiki diri, kalo kamu mau–adalah kemampuan kamu untuk mengenali setan (evil). Ini enggak bercanda. Ketika kamu dihianati, sama aja kayak kamu lagi menghadapi setan. Setelah itu kamu akan berusaha memahami tipografi neraka dan penghuninya. Setelah itu, kamu akan paham bahwa; yang perlu kamu lakukan di atas muka bumi ini hanya berhati-hati untuk tidak jadi salah satu penghuninya.
Penghianatan ini bisa membuat orang yang masuk ke masalah itu akan keluar dengan menjadi orang lain. Bukan hanya hati manusia saja yang dihancurkan oleh penghianatan, tapi juga kemanusiaannya. Mengerikan, bukan? Pantas tempatnya adalah di kerak neraka. 😀
Ketika manusia memilih untuk punya ‘tuhan’ lain selain Tuhan yang satu, itu juga penghianatan. Bahkan Tuhan pun enggak memaafkan dosa penghianatan dari manusia.
Masalah penghianatan ini dan bagaimana trauma penghianatan terbentuk, dijelaskan dengan puisi Dante, gimana itu menurutmu? 😀
Iya, sastra itu dulunyaaa … digunakan untuk menuliskan lagi pemahaman penulis tentang manusia sehingga manusia-manusia lain yang membaca karya sastra itu akan lebih paham dengan dunia ini sebagai tempat bermain mereka. Manusia itu menghibur banget soalnya. Pernyataan saya ini bisa saya kasih contoh kasus Agus Vs. Novi yang lagi ramai dibahas itu. Kamu tahu, mengapa banyak orang yang membicarakan kasus tersebut? Sesederhana dan serumit karena mereka melihat sifat-sifat manusia di dalam masalah itu. Kita ngeliat ada manusia yang serakah, yang enggak tahu terima kasih, yang tulus, yang berbohong. Sifat-sifat ini ditunjukkan dengan telanjang sebenarnya lewat banyak podcast dan wawancara. Orang yang menonton, bisa merefleksikan lagi tentang semua sifat yang dia lihat itu dan diidentifikasikan ke diri mereka masing-masing. Dengan kata lain; yang bilang Agus itu enggak salah, yaaa … yang bisa mengidentifikasikan dirinya dengan sifat-sifat Agus. Gitu, sih. 😀
Apa Agus itu juga melakukan penghianatan? Sayangnya … iya. Makanya yang kita–sebagai penonton umum yang enggak ada kaitannya dengan hidup mereka–juga bisa memetakan lagi tentang good and evil dari kasus ini.
Seru? Iya.
Saru juga. 😀
Balik ke pertanyaan pertama yang mau berusaha saya jawab: Fiksi yang saya suka itu yang kayak apa?
Yang bisa menceritakan kembali tentang manusia, kemanusiaan, bahkan apa yang ada setelah kemanusiaan (post-humanism). Menurut saya, sih, begitu. Fiksi kayak gini enggak melulu musti rumit dan nyastra abeees. 😀 Sederhana juga bisa. Apanya yang nyastra dari kasus Agus Vs. Novi, kan? Tapi, kemampuan kasus ini untuk membuat diskusi tentang manusia, kemanusiaan, dan pemetaan good and evil, ngebikin saya suka mengikutinya. Bukan karena ghibahnya, tapi karena pelajarannya. 😀
Kisah Romeo dan Juliet itu yaaa … kayak gitu, itu doang sebenarnya, tapi … kisah itu memperlihatkan bagaimana manusia (muda dan bodoh) berusaha untuk sesuatu yang dicintainya dan berakhir dengan sama-sama mati. Ketika kamu lagi jatuh cinta dan ada di masa-masa mudamu yang bodoh itu, kamu akan lihat ini sebagai kisah romantis. Ketika kamu udah beberapa kali mengalami penghianatan, peta good and evil kamu udah beberapa kali direvisi, dan kamu bisa dengan jelas melihat apa dan bagaimana itu setan (evil), kamu akan melihat Romeo dan Juliet sebagai kisah yang … ah, sudahlah. Begonya mereka udah kayak apotek kosong–enggak ada obat. Atau kayak saya sekarang, deh, yang melihat bahwa Romeo dan Juliet memilih love story dibanding life story … aaand, they died. Bah!

Topografi neraka ala Dante, nih.
Di Three Body Problems, novelnya enggak bicara tentang alien sebagai alien yang reseh pengen menyerang bumi doang, tapi juga tentang bagaimana sosiokultural dan bangsa alien itu dan hubungannya dengan tempat hidup mereka, alias; kosmik sosiologi. Nah, apaan ituuu? Kapan-kapan saya bahas, ya–kalo saya enggak lagi males. 😀

Kalo kamu baca, nonton, atau dengerin cerita dan yang didapet cuma seneng doang, sayang bangeeet…. Ambil hikmah, dong. Hehe.
Atau, kalo mau kurang kerjaan banget; pahami dengan bantuan pemahaman kamu atas teori tertentu.
Fiksi seperti ini yang saya suka dan saya baca, biasanyaaa…. Walopun di waktu luang, saya juga nonton Sailormoon Chrystal. T____T
Menjawab pertanyaan berikutnya: Apakah ada hubungannya ‘menjadi manusia’ dengan fiksi yang–menurut saya–bagus?
Ada, dong.
Gimana kamu bisa menulis cerita yang bisa membuat pembaca menjadi lebih paham tentang manusia lain kalo kamu aja enggak paham tentang manusia, bagaimana menjadi manusia, dan apa itu kemanusiaan. Balik lagi ke yang dibahas sama Robert Greene; filosof dan penulis itu mengamati dan memahami manusia untuk bisa menulis bagaimana manusia menjadi manusia. Bagaimana sifat, sikap, pemikiran, dan perasaan mereka. Karena itu, bisa saya katakan bahwa karya yang bagus itu biasanya datang dari penulis yang udah lama ‘jalan-jalan’ dan mikir di atas muka bumi ini sambil hidup. Mengobservasi objek tulisan mereka; manusia. Itu semua butuh waktu. Itu juga yang ngebikin saya lebih suka membaca karya penulis tua untuk kearifan mereka memahami manusia dan penulis muda untuk memahami kenaifan mereka melihat hidup. 😀
Pertanyaan terakhir: Trus, kenapa manusia suka kisah nyata atau terinspirasi dari kisah nyata?
… karena nyata. 😀
Setidaknya ada jaminan itu pernah terjadi di atas muka bumi ini dan … kadang, kisah nyata itu jauh lebih enggak masuk akal dan aneh dibandingkan dengan kisah yang dibikin-bikin. Itu juga alasannya kitab suci itu isinya kisah nyata, bukan fiksi kontemplatif. 😀
Yah, begitulaaah….
Saya enggak tahu kenapa saya pengen banget menuliskan ini. Mungkin biar saya bisa mendokumentasikan apa yang saya pikirkan sekarang. Soalnya, beberapa belas tahun yang lalu, yang saya suka baca adalah Harry Potter. Bukan karena saya suka fantasi, tapi karena saya belajar memahami tentang persahabatan, perjuangan, dan kesabaran dari cerita itu. Namun, beberapa tahun lalu saya pun memahami bahwa si Harry jelaaas … adalah anak dengan privilese luar biasa. Butuh jeda bertahun-tahun untuk memahami sisi lain dari cerita itu.
Gitu, sih~
Manteman hari ini mau ngapain?
Saya mau jalan kaki ke kampus biar enggak pegel kayaknya. Sekarang, tuh, kalo saya diem doang di rumah, enggak jalan kaki, bawaannya malah jadi pegel-pegel gitu. 😀
Makasih udah mampir dan membaca, ya~
Seru yaa nanti cari ah di Netflix. I used to be an avid reader, bisa baca buku semalaman sampe habis dan paling suka buku self development dan novel. Tapi tahun2 terakhir ini tiba2 udah gak sanggup kejar tayang 1 buku. Bacanya nyicil beberapa halaman tapi beli bukunya banyak 😅.