… dan bukan karena enggak punya uang. 😁😁😁

Tapi, beneran memilih buat enggak megang uang sama sekali.

Saya mau ceritain ini. Kali aja ada yang pengen tahu rasanya. 😁

Kalo saya cerita ini di sosmed, saya bakalan ditanyain atau dicap kayak; ‘oh, kamu ada di bawah patriarki’ atau ‘kamu di-abuse pasangan’. Enggak. Saya emang memilih untuk enggak pegang uang sama sekali karena saya pengen tahu rasanya. Bulan ini, masuk bulan keempat saya melakukannya. Biasanya, saya pegang uang saya sendiri yang saya dapatkan dari pendapatan saya (kadang dari proyek, kadang dari ngajar, dan sebagainya) dan transferan dari Tuan Sinung, lalu saya simpan di rekening pribadi yang penggunaannya suka-suka saya, yang penting saya laporan aja gitu ke Tuan Sinung.

Sejak saya sampai di sini, ada hal yang mau saya coba; hidup tanpa megang uang, atau lebih tepatnya; hidup tanpa ngurusin uang. Karena saya enggak punya rekening bank di sini dan saya juga enggak bisa buka (belum, bukan enggak), trus saya juga enggak akan ada pendapatan masuk, dan rekening saya udah saya kosongin, jadinya saya bisa nyoba hidup kayak gini. Saya bilang ke Si Tuan, “Jangan kirimin gue duit, lo aja yang pegang.” Semua bills dibayar dari rekening dia kecuali yang emang musti dibayar dari rekening saya. Kalo ada yang kayak gitu, yaaa … saya terima transferan sebentar trus saya bayarkan.

Hanya dua kartu di atas yang saya taroh di casing ponsel saya; kartu perpustakaan dan Opal Card buat kendaraan umum.

Cara hidup saya begini:

  • Kalo saya belanja, saya pergi saya Tuan Sinung. Pas check-out, dia yang bayar. Jadi belanja berdua melulu, deh~
  • Makan di luar, dia yang bayar.
  • Semua bills (kecuali yang musti dibayarkan dari rekening saya) dia yang bayar.
  • Intinya … semuaaa … dia yang bayar.

Buat anak-anak di Jakarta, uang dikirimkan bentuknya budget bulanan ke rekening salah satu anak yang paling rapi dan bertanggung-jawab sama uang. Ada anak yang enggak mau puyeng urus uang juga soalnya–tapi jajannya banyaaak. πŸ™„πŸ™„πŸ™„ Anak ini, akan pakai kartu ATM saya (yang saya tinggal untuk logistik dan operasional mereka sekolah) buat belanja, ke mall, dan urusan jajan-jajan ini.

Tapi, ini ada TAPINYA, saya membuat hidup saya dan Tuan Sinung di sini beneran simpel dan sederhana. Makan biasa aja, belanja sesuai kebutuhan, enggak ada barang atau bahan makanan yang ditumpuk atau disimpan untuk waktu yang lama. Pokoknya, semua harus habis, harus ada gunanya, dan enggak boleh laper mata.

Saya enggak mau bilang ini hidup yang frugal atau apa. Enggak ada frugal-frugal-an di sini. Yang saya mau; peace of mind. Saya enggak mau mikirin ayam yang udah seminggu belum dimasak atau es krim yang udah seminggu belum habis. Saya beli sesuatu yang habis dalam waktu singkat, belinya juga secukupnya. Kalo mau makan di luar, ya makan di luar. Mau main bowling atau jenjalan, yaudah, dilakukan. Mau beli makeup, yaaa … saya beli. Enggak ada yang ditahan-tahan. Saya tahu uang tinggal berapa, saya tahu akan cukup, sisanya berapa, tapi saya enggak mikirin lebih dari itu.

Tulisan di bawah ini adalah laporan pengamatan dan pengalaman saya tentang hidup tanpa pegang uang ini.

Kesimpulannya, sih: Eh, kok, enak, yaaa? 😁😁😁

Enaknya bukan karena enggak mikirinnya, karena saya mikirin kecukupan belanja buat hidup, tapi saya jadi ngerasa enggak ada keterikatan. Empat bulan ini, saya hidup tanpa ada keterikatan dengan pikiran uang mau diapain. Kalo cukup atau enggak, sih, yaaa … manajemen uang gaji itu cukup. Selama ini saya enggak pusing-pusing amat, sih, urusan uang. Uang akan cukup karena pandapatan akan ada. Tapi, kalo itu pendapatan saya, spesifik pendapatan saya, biasanya uangnya bikin saya akan mikirin banyak hal buat dibeli. Saya suka belanja, tapi … entahlah, saya ngerasa mikirin mau beli apa dan sejenisnya itu kadang bikin saya puyeng sendiri. Mikirin jajan apa aja kadang bikin saya puyeng karena di Jakarta pilihannya banyak. Ke Alfamidi aja bawaannya pusing milih-milih ini-itu.

Sekarang, saya enggak ada milih-milih kecuali buat buah atau bahan makanan segar, ya. Selebihnya, saya beli sesuai kebiasaan. Es krim, beli Haagen Dazs. Pasta, beli Barilla. Roti, beli traditional wholewheat Helga (yang kandungan wholewheat-nya paling banyak, 60%). Beli sourdough bread dari bakery malah Si Tuan enggak terlalu suka. πŸ™„

Catatan belanja dibuat berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan.

Sesungguhnya … hidup kayak gini bikin tenang.

Masak pun, saya jadwal sesuai kebutuhan. Pagi buat sarapan dan buat bekal Tuan Sinung, malam buat dinner. Saya enggak makan siang, langsung ke makan malam. Buat Tuan Sinung, makanannya high protein. Tiap pekan, saya ngabisin dua pak telur, isi 24. Lebih banyak dari konsumsi telur saya sekeluarga di Jakarta, bahkan. Begitu juga dengan goreng-gorengan, saya jarang bikin gorengan kecuali bakwan (karena banyak sayurannya). Saya beli minyak goreng 2 liter udah dua bulan enggak habis, masih sisa setengah. Kebanyakan makanan yang saya buat kalo enggak ditumis, yaaa … direbus atau dibakar di oven.

Saya nulis ini untuk mengenang masa-masa ini. Hehe. Karena kayaknya, sebentar lagi uang akan masuk lagi ke rekening saya karena saya udah harus balik ngerjain kerjaan saya kayak biasa. Saya mempertimbangkan buat tetap seperti ini, sih. Yaudah aja uang saya transfer ke rekening Tuan Sinung buat chip-in operasional.

Oh, tadi saya ngomongin ketenangan, ya. Lanjutin itu….

Selama ini, saya paham bahwa uang itu adalah alat, bukan tujuan. Saya memakai uang sama kayak saya memakai Macbook; buat menyelesaikan sesuatu. Tapi, saya enggak pernah benar-benar terlepas dari mikirin uang sebagai cara memuaskan hal-hal yang saya sebenarnya enggak butuhkan. Misalnya, hmmm … saya kalo lagi pengen jajan, saya akan jajan lipstik yang harganya beberapa ratus ribu–yang pada akhirnya juga enggak saya pakai karena tiap hari saya sukanya pakai liquid lipstick Wardah yang 70-80 ribu itu. πŸ™„ Saya pun akhirnya punya tumpukan lipstik yang enggak kepakai sampai jamuran. Trus saya ngerasa bersalah. Trus jadi badmood ngeliat tumpukan lipstik itu. Trus buat bikin happy lagi, saya belanja lagi. Begitu aja terus hubungan toksik saya dengan makeup dan skincare. 😢😢😢

Waktu bininya beli-beli makeup kayak gini, lakinya ngapain? … hmmm, transfer-transfer uang ke bininya karena mengira saya stress karena kurang uang buat beli lebih banyak makeup. 🀨🀨🀨 Yaaa … saya beli makeup lagi. Huft.

Sekarang saya cuma punya 2 lipstik. Satu buat hari yang cerah dan panas karena liquid lipstick. Satu lagi yang lembab banget (tapi bukan lipbalm) buat hari yang kering dan dingin. That’s it.

Saya tahu kalo saya enggak bisa nerusin hidup tanpa pegang uang kayak gini. At some point (yang mana sebentar lagi) saya musti buka rekening di sini. Saya musti balik lagi ngurus uang. Tapi, saya lagi cari cara biar saya bisa nerusin hidup yang ‘yaudah, lah’ gini urusan uang. Masa-masa ini akan berakhir dan saya musti bawa DC atau CC di casing hape.

Empat bulan ini adalah empat bulan yang membahagiakan dan menenangkan buat saya untuk urusan uang ini. Saya mau mempertahankan rasanya dengan menyesuaikan metodenya. Saya juga mulai mempertanyakan dan mencari tahu apakah hubungan saya dengan uang selama ini kurang sehat, ya? Gimana caranya biar sehat? Apa indikator sehat dan enggak sehatnya–di luar indikator kecukupan, ya. Kemelekatan dengan uang itu harusnya kayak apa, ya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang akan saya pikirin kayaknya di bulan ini.

Pertanyaan yang menurut Tuan Sinung hanya bisa ditanyakan ketika keamanan finansial itu udah ada, atau pakai bahasa dia yang agak keras, “Lo enggak akan nanyain dan mikirin itu kalo duit lo enggak ada. Kalo lo kesusahan uang.” Saya setuju dengan itu. Dia tambah lagi, “Bersyukur!”

Okaaay! Bersyukur. 😁

Yah, begitulah.

Manteman apa kabar?

Hari ini saya perlu belanja ke Woolies dan ngambil tripod ke inkubator buat UAS saya besok.

* * *

Visited 39 times, 1 visit(s) today

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.