Melihat Maman di Crystal Bridges Museum, Bentonville, Arkansas, dan tubuh saya membeku. Siang itu di awal musim gugur di tahun 2016 dan saya masih ingat, ketika melihatnya kali pertama, saya pikir ini adalah patung tentang makhluk dari luar angkasa, semacam monster di fiksi sains. Ternyata, bukan.

Saya berdiri di bawahnya–sesuatu yang refleks saya lakukan karena ada ruang di bawah patung yang tingginya sepuluh meter itu. Dia besar, tenang, dan mengawasi tanpa tuntutan. Patung laba-laba raksasa itu berdiri menjulang, dan untuk sesaat, saya merasa seperti disaksikan oleh sesuatu yang tidak butuh penjelasan. Tidak menghakimi. Namun, saya belum ingin tahu cerita lengkapnya. Saya ingin ada di situ dulu. Hanya ada, dan itu cukup.

Di bawah Maman, saya teringat bahwa seni sering kali bukan tentang makna, tetapi tentang keberadaan. Tentang validasi eksistensi kita, bahkan jika harus tanpa kata. Bahwa ada bentuk kehadiran yang hanya diam, tetapi membuat kita merasa terlihat.

Apakah semua luka harus diceritakan? Atau cukup disaksikan?

Setelahnya, saya googling tentang patung ini dan saya paham, “Iya. Ini tentang seorang ibu.”

Ini tentang rasa.

Maman.

Photo by Valeriia Ruban on Unsplash

Merasa Dulu, Berpikir Kemudian

“Art wasn’t supposed to look nice; it was supposed to make you feel something.”
Rainbow Rowell, Eleanor & Park

Sebagai seseorang yang pernah belajar seni secara akademis dan sampai sekarang masih menjadi penikmat aktif, saya terbiasa dengan dunia yang memuja intuisi, afeksi, dan kepekaan rasa. Namun saya juga menikmati saat pikiran saya ditantang. Apakah akal dan rasa harus selalu bertentangan?

Ternyata, menikmati seni justru menuntut kehadiran keduanya. Rasa membuka pintu perjumpaan pertama, tetapi akal dan pengalaman membentuk kedalaman interpretasi. Seni tidak pernah datang ke ruang kosong. Ia menggaung di dalam bagasi pengalaman penikmatnya.

Dalam tradisi spiritual Islam, pengalaman keagamaan pun tidak hanya diukur dari seberapa ‘tersentuh’ seseorang secara emosional. Rasa memang penting, tetapi bukan satu-satunya tolok ukur. Akal hadir sebagai penjaga dari jebakan sentimentalitas. Sebaliknya, rasa yang tidak dimanja, yang tidak memanipulasi dan tidak menuntut, justru membuka ruang bagi pengalaman spiritual yang otentik.

Perdebatan antara akal dan rasa ini bukan hal baru. Dalam sejarah tasawuf dan kalam, isu ini terus muncul. Banyak yang mengira spiritualitas adalah urusan perasaan semata, padahal dalam Islam, berpikir adalah bagian dari iman. Dalam lanskap itu, rasa yang jujur terasa mirip dengan karya seni yang tidak menjelaskan dirinya, tetapi cukup kuat untuk mengguncang batin.

Pendekatan saya terhadap Maman juga begitu. Saya membiarkan diri untuk merasakannya dulu, tanpa beban analisis atau interpretasi. Hanya berdiri di bawahnya, diam dan hening.

Pemikiran datang belakangan.

Photo by Gabriel Tovar on Unsplash

Louise Bourgeois

Louise Bourgeois lahir di Paris pada tahun 1911 dan wafat di New York pada tahun 2010. Ia tumbuh dalam keluarga restorator permadani antik, tempat di mana pekerjaan tangan bertemu sejarah panjang kekuasaan dan estetika. Di studio keluarganya, Louise kecil menggambar bagian-bagian permadani yang hilang, membantu ayah dan ibunya memperbaiki permadani yang rusak atau robek. Pekerjaan ini bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi bentuk ketekunan yang menghormati apa yang pernah dianggap indah. Di sanalah ia belajar bahwa sesuatu yang rusak tidak selalu harus dibuang, melainkan bisa dipulihkan pelan-pelan, dengan kesabaran dan presisi.

Namun, rumah itu juga menyimpan luka. Ayah yang berselingkuh terang-terangan, ibunya yang diam dan bertahan, serta anak perempuan yang mencatat semuanya dalam ingatan yang tidak pernah pudar. Louise memeluk ibunya sebagai satu-satunya pelindung. Pada usia dua puluh tujuh, ia meninggalkan Prancis dan pindah ke Amerika, membawa seluruh beban dan ingatan itu ke dalam karya-karyanya. Seni menjadi tempat ia merawat dirinya sendiri, satu-satunya tempat yang tidak menghakimi.

Setelah menetap di New York pada usia 27 tahun, Louise menghidupi seninya dengan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

“Art is a guarantee of sanity,” tulisnya.

Seni menjadi satu-satunya ruang tempat kegelisahan bisa diberi bentuk. Namun asal luka itu tidak langsung ia pahami. Dibutuhkan waktu seumur hidup untuk menyadari bahwa pusat dari segala ketegangan batin itu adalah ibunya. Bukan karena sang ibu menyakiti, melainkan karena sang ibu bertahan. Dalam kesetiaan yang sunyi, dalam tenunan yang tak pernah selesai, ibunya menjadi simbol dari kekuatan yang tidak pernah menuntut untuk diakui.

Menjelang usia senja, Louise menciptakan Maman, patung laba-laba raksasa yang menjulang lebih dari sepuluh meter.

“The spider is an ode to my mother,” katanya.

Laba-laba itu hadir bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai penjaga. Seperti ibunya, ia menenun dan memperbaiki, diam-diam, tanpa suara.

Maman

Laba-laba bukan hanya makhluk, tetapi metode. Ia menenun dunianya sendiri dari benang tubuhnya. Membangun sarang, memperbaiki yang robek, merawat yang rapuh. Diam, tetapi siaga. Lembut, tetapi bertahan. Ia tidak mengejar, hanya menunggu, percaya pada jaring yang ia ciptakan.

Seperti itulah Louise memandang ibunya. Seorang penenun yang terus menjahit ulang yang koyak, bahkan saat dirinya sendiri hancur. Tidak menyelamatkan, tetapi tidak pergi. Tidak memeluk, tetapi tetap hadir. Louise tumbuh di tengah jaring itu, dalam rumah yang sunyi, tempat luka tidak disembuhkan tetapi dilalui.

Maman lahir dari perasaan itu. Sosok hitam, tinggi, kaku, seperti kenangan yang tidak pernah selesai. Dalam tubuh baja yang dingin, ada telur-telur yang dijaga. Ia terlihat mengancam, tetapi juga melindungi. Seperti hidup. Seperti ibu. Tidak lembut, tetapi tidak sepenuhnya hilang.

Dalam tradisi Islam, laba-laba menyelamatkan Nabi Muhammad dengan jaring yang tipis di mulut gua. Tidak menyerang, hanya hadir. Tidak terlihat sebagai pahlawan, tetapi cukup untuk menyelamatkan. Louise menemukan makna yang sama dalam sosok ibunya, yang tidak membela, tetapi tidak pergi.

Louise tidak pernah benar-benar memaafkan ibunya. Amarah itu tetap ada, sampai akhir hayatnya. Namun ia juga tidak membenci. Maman bukan permintaan maaf, bukan pelukan, melainkan pengakuan. Tentang cinta yang dingin. Tentang luka yang tidak dijahit tetapi dirawat. Tentang perlindungan yang tidak terasa hangat, tetapi tetap ada.

Kalau kamu berdiri di bawah patung itu, kamu akan merasakan semua itu.

Iya, patung raksasa itu adalah seorang ibu.

Maman.

Photo by Levi Meir Clancy on Unsplash

Destruction of the Father

Destruction of the Father (1974) adalah manifestasi amarah Louise yang paling frontal. Instalasi ini menampilkan ruang seperti ruang makan, diubah menjadi panggung fantasi pembantaian. Meja menjadi altar, tubuh ayah dibayangkan dikoyak dan dilahap. Di sini, Louise tidak hanya mengingat luka, tetapi mengambil alih kendali. Ia menghancurkan sosok ayah yang dominan dan mempermalukan, melalui bentuk yang teatrikal dan simbolik.

Ketika ia menciptakan Maman, penghormatan pada ibunya lahir dari sumber luka yang sama. Jika ayah harus dihancurkan, maka ibu harus diabadikan. Keduanya menjadi poros utama dalam peta trauma Louise, yang juga menjalar ke seri Cells; ruang-ruang sempit berisi objek pribadi, tempat luka dipajang dalam keheningan yang dingin.

Karya-karya Louise membentuk bahasa visual tentang keluarga, tubuh, dan luka batin yang kini menjadi referensi penting dalam seni kontemporer, terutama dalam wacana tentang mother wound dan father wound.

Destruction of the Father (1974)

Dalam seni kontemporer, banyak seniman mengangkat luka dari sosok ibu sebagai pusat konflik batin. Tracey Emin dan Frida Kahlo, misalnya, menjadikan pengalaman personal mereka sebagai medan pertarungan emosional yang terus-menerus terbuka. Louise memilih arah yang berbeda. Ia memuliakan ibunya. Maman bukan pelampiasan amarah, melainkan monumen bagi sosok yang tenang, sabar, dan tak tergantikan.

Dalam kutipannya, Louise menyebut sang ibu sebagai sahabat terbaiknya, “Deliberate, clever, patient, soothing, reasonable, dainty, subtle, indispensable, neat and useful as a spider.”

Ambiguitas inilah yang memberi daya pada Maman; ia melindungi sekaligus membangkitkan kecemasan, seperti kenangan masa kecil yang terus menenun pengaruhnya hingga dewasa.

Seni sebagai Ruang Aman; Being Seen, Bukan Diselamatkan

Maman tidak datang untuk menyelamatkan. Ia tidak memeluk, tidak menuntun, tidak bertanya apakah kau baik-baik saja. Ia ada, menjulang tinggi, membisu, tak bergeming. Dalam diamnya, kita merasa dilihat.

Berdiri di bawah lengannya yang melengkung, bayangan tubuhmu tercetak di lantai. Jaring-jaringnya menggantung di atas kepala, seperti ingatan yang tak putus-putus; menjaga, tetapi tak pernah menyentuh. Ia tidak memaksa untuk membuatmu merasa dikuatkan. Ia hanya memberi ruang. Di dalam ruang itu, kita tidak perlu menjelaskan luka. Tidak perlu memenangkan apa pun. Kita cukup hadir, kecil di bawah sosok raksasa yang mengawasi tanpa penghakiman.

Dalam psikoterapi modern, holding space adalah kemampuan untuk menemani seseorang melewati emosi atau krisis tanpa mencoba memperbaiki

“To hold space” = being present without judgment or intervention.

Maman adalah visualisasi holding space yang paling ekstrem; besar, hening, tidak menghakimi

Kita butuh sosok yang tidak menjadikan luka kita sebagai proyek penyelamatan.

Photo by Felix Elias on Unsplash

Dalam banyak tradisi spiritual, perasaan bukan satu-satunya penentu kebenaran. Ia penting, tetapi harus dibingkai oleh akal agar tidak menyesatkan. Begitu pula dalam seni. Ketika emosi mengambil alih sepenuhnya, karya bisa berubah menjadi manipulasi. Sebaliknya, ketika rasio mendominasi tanpa ruang rasa, seni kehilangan nyawa. Banyak karya terjebak dalam berceramah, menyampaikan pesan secara gamblang dan memaksa. Maman mengambil jalan lain. Ia hadir tanpa menjelaskan, diam tanpa hampa. Justru karena tidak menunjuk arah, ia memberi ruang bagi pengalaman yang intim dan personal. Di situlah letak spiritualitasnya, bukan karena pesan yang ditawarkan, tapi karena kehadirannya memberi kita tempat untuk merasakan, dengan utuh dan tanpa paksaan.

Luka Butuh Disaksikan, Bukan hanya Diselesaikan

Di tengah dunia yang terus mendesak kita untuk sembuh, berubah, dan jadi versi terbaik dari diri sendiri, ada kerinduan yang lebih mendasar; untuk disaksikan. Banyak orang datang ke agama atau seni bukan karena ingin diperbaiki, tapi karena ingin dirasa ada. Maman menghadirkan bentuk kehadiran yang langka; diam, besar, tidak menuntut. Ia tidak menawarkan solusi, hanya ruang. Dalam keheningan logamnya, kita belajar bahwa menemani seseorang tidak selalu berarti menolong. Kadang, cukup dengan tinggal.

Siapa yang pertama kali menyaksikan luka kita?

Dan, siapa yang tetap tinggal setelahnya?

Untuk penutup tulisan ini, saya mau bilang; bahkan masuk ke konsep ketuhanan dalam Islam pun dimulai dengan penyaksian.

Asyhadu an lā ilāha illā Allāh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah.

Pernyataan hadir sepenuhnya di hadapan Yang Maha Ada.

Photo by Carlos Torres on Unsplash

Kalau Maman dan instalasi Louis hadir di Jakarta atau di kota lain di Indonesia, saya menyarankan kamu untuk melihatnya. Cari Maman, berdiri di bawahnya. Saksikan lukanya. Saksikan usaha perempuan menenun dengan tekun hidup dan luka-lukanya sambil menjaga telur-telur yang dia bawa di perutnya. Rasakan bahwa kamu juga sedang dipeluk balik laba-laba raksasa yang menyaksikan luka-lukamu.

Karena dia Maman.

Dia, ibu.

***

Berikut tempat-tempat di mana patung Maman karya Louise Bourgeois dimiliki secara permanen (enam cetakan perunggu + satu stainless steel asli) dan saat ini dipajang:

  • Tate Modern, London (UK) – versi stainless steel asli, dimiliki sejak 2008 dan akan dipajang kembali di Turbine Hall pada Mei 2025.
  • National Gallery of Canada, Ottawa – cetakan perunggu sejak 2004.
  • Guggenheim Museum Bilbao, Spanyol – dipamerkan secara permanen di luar museum.
  • Mori Art Museum / Roppongi Hills, Tokyo (Jepang) – sejak 2003.
  • Leeum, Samsung Museum of Art, Seoul (Korea Selatan).
  • Qatar National Convention Centre, Doha (Qatar) – sejak 2012.
  • Crystal Bridges Museum of American Art, Arkansas (USA) – pameran luar, sejak diakuisisi pada 2015.
  • Kemper Museum of Contemporary Art, Kansas City (USA).
  • Pappajohn Sculpture Park, Des Moines (USA).
  • Hermitage Museum, Saint Petersburg (Rusia).

Selain itu, selama masa pameran keliling, Maman juga pernah dipajang di banyak lokasi luar negeri, antara lain Rockefeller Center (New York), Jardin des Tuileries (Paris), Palacio de Bellas Artes (Mexico City), dan Roppongi Hills (Tokyo).

Visited 36 times, 1 visit(s) today

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.