Bulan ini adalah bulan lahir saya. Yeay! Sesuai dengan nama saya, Octa, yang harusnya emang orang dengan nama ini lahirnya di Oktober. Di Oktober tahun ini, saya sedang mencoba untuk menjadi sederhana, lebih sederhana dari pada yang sudah saya usahakan. Dimulai dari; makanan dan masakan.

Bakso ikan yang saya masak semalam. Campurannya; bihun, enoki, dan sawi.
Ketika saya sampai di sini, selama tiga hari, saya bilang sama si Tuan kalo saya enggak mau masak dulu. Selain karena masih capek, saya juga belum tahu di mana beli apa, dan saya juga mau liat pola makan si Tuan yang udah ada. Selama dia tinggal sendiri di sini, saya enggak terlalu ribut dia harus makan apa dan masak apa. Terserah dia aja maunya dan sukanya gimana–saya istrinya, bukan ibunya. 😀 Kebebasan buat makan apa pun itu, ngebikin dia jadi bisa bertanggung-jawab sama dirinya sendiri, kan. Tapi … ternyataaa … setelah saya lihat dan pelajari, apa yang dimakan si Tuan ini enggak saya setujui. Haha. Jadi, saya bikin rencana apa yang akan kami makan. Dimulai dengan merencanakan apa yang perlu saya beli dan kemudian apa yang bisa saya masak.
Saya mulai dengan dasar pikirnya dulu; pola dan rencana makan yang sederhana. Intinya cuma dua; makanan segar, masakan sederhana, ada buah, dan es krim, cake, dan pastry untuk the sweetest of life. Saya enggak melarang konsumsi gula untuk diri saya dan si Tuan soalnya kami suka yang manis-manis, tapi ada aturannya; sarapan enggak boleh manis dan makanan manis hanya dimakan setelah makan besar (biasanya setelah makan malam).
Saya juga belum bisa mulai baking–walaupun untuk yang kenal saya bakalan tahu betapa saya sukaaa … banget bikin kue–karena alatnya belum ada. Baking itu buat saya lebih matematis dan bisa diprediksi polanya dibanding memasak karena ada takaran dan tekniknya, makanya saya suka. 😀 Jadi, untuk dessert, saya masih beli jadi. Saya cari es krim yang enggak ada rhum-nya (favorit saya; Haagen Dasz) dan untuk pastry atau cake, saya cari yang emulsifier-nya bukan dari babi dan enggak ada rhum atau wine-nya. Di sini mudah untuk mencari cake dan pastry kayak gitu karena banyak populasi pendatang dari timur tengah dan muslim.

Haagen Dazs ini adalah nikmat yang enggak bisa saya dustakan…. 😀
Ini adalah pekan kedua saya mengelola urusan makanan dan masakan ini. Saya juga bikin bekal setiap hari untuk makan siang si Tuan. Ini bukan patriarti, ya. Hadeeeh…. Di sosmed kayaknya ribet banget orang-orang ngeributin kalo istri masak dan menyiapkan bekal buat suaminya, itu adalah salah satu contoh patriarki.
Ini bukan tindakan perempuan yang ditekan patriarki, saudara sekalian. Ini adalah salah satu hal yang sebenarnya adalah bagian dari sifat perempuan itu sendiri, yaitu; nurturing–bahasa Indonesianya apa, ya … pemeliharaan? Perempuan itu suka merawat orang-orang yang dia sayangi. Dia akan suka masak, bikin kue, mengurus rumah, dan hal-hal lain yang terkait sama urusan pemeliharaan itu. Walaupun bukan dia yang ngerjain, dia akan suka kalo dijadikan orang yang pegang kendali. Misalnya, saya enggak suka nyuci dan menyetrika. Di Jakarta, saya pakai layanan londri. Saya emang enggak ngerjain londrinya, tapi saya ingin jadi orang yang mengurus kapan londri itu diantar dan dijemput, walaupun (lagi-lagi) yang diberikan tanggung-jawab untuk hal itu adalah si anak kedua. 😀

Bekal yang saya siapkan untuk si Tuan. Saya masukin juga garlic bread buat cemilan kalo dia di lab sampai sore.
Si Tuan ini gampangan makannya. Apa yang saya masak, dia akan menerima dengan senang hati dan makan sampai habis. Buat dia, yang penting ada makanan, yang penting istrinya yang masak, yang penting jam makan enggak molor. Udah, gitu aja. 😀 Jadi saya bisa leluasa masak apa pun.
Saya juga enggak berusaha masak harus otentik ala Indonesia gitu. 😀 Buat saya sekarang, pokoknya sederhana pembuatannya, udah. Sering banget saya masak tumis sayuran (capcay atau stir fry) yang bumbunya hanya; bawang bombay, baceman bawang putih, seledri, tomat, lada hitam kasar, dan garam. Masaknya pun sebentar saja sampai sayurannya layu tapi masih kriuk gitu. Saya suka rasa sayuran soalnya.

Sayuran untuk capcay/stir fry; brussel sprout, buncis, kembang kol, wortel, seledri, bawang bombay, dan tomat.
Untuk proteinnya, saya masak ayam (kebanyakan dibakar), gulai, atau opor. Saya memilih masakan yang kuahnya bisa dikentalkan jadinya bisa dimasukkan ke tempat makan untuk bekal makan siang keesokan harinya. Jadi, saya bisa memasak di malam hari, sehari sekali aja.
Saya memperhatikan perubahan apa yang kami rasakan dua pekan belakangan. Yang jelas; mood jadi lebih baik. Di Jakarta, saya makan agak sembarangan. Saya suka jajan dan jarang makan buah, saya jadi kurang segar badannya. Kulit juga jadi enggak segar. Selama dua pekan ini, saya merasa perubahan mood itu nyata adanya. 😀 Saya juga merasa kulit saya jadi lebih baik. Tapi, ini juga karena faktor air di sini bersih banget. Air yang saya ambil langsung di keran tanpa dimasak untuk diminum itu, adalah air yang sama yang saya pakai untuk mandi. Enggak ada ceritanya kulit saya jadi gatal selama di sini. Kami juga nyempet-nyempetin pokoknya sarapan dan makan malem musti bareng biar bisa sambil cerita-cerita.

Cemilan siang saya karena saya enggak makan siang. Entah kenapa saya enggak suka makan siang karena rasanya bakalan penuh banget perut.
Salah satu faktor yang ngebikin badan saya jadi lebih segar adalah karena saya membiasakan diri untuk jalan sore. Pukul 16an, saya jalan ke kampus si Tuan yang jaraknya hampir 2 km. Saya main sebentar di sana, ngeliat burung kakaktua liar yang ada di lapangan atau jalan-jalan sendiri aja karena kampusnya itu baguuus … banget. Setelah si Tuan kelar di lab, kami janjian ketemu dan jalan ke mall yang lokasinya masih di area kampus buat beli beberapa bahan makanan yang habis. Jadi, saya emang beli sayuran dan bahan makanan sedikit-sedikit. Kalo ada yang udah abis, baru dibeli lagi. Saya enggak belanja banyak dan nyetok. Trus pulangnya jalan lagi bawa belanjaan, sengaja enggak naik bis. Dalam sehari, saya bisa jalan sejauh 6-8 km. Sementara si Tuan punya jadwal nge-gym seminggu dua kali. Saya belum mau nge-gym karena saya masih pengen jalan kaki aja dulu. Mungkin setelah saya enggak ngerasa pegel lagi setelah jalan sejauh itu, saya naikin lagi kebiasaannya dengan jogging. Abis itu, saya baru mau nge-gym. 😀
Seperti yang diajarkan Ayah saya, setiap makan, sekarang saya berdo’a bahwa saya makan adalah untuk memberi hak tubuh saya dan mensyukuri nikmat dan rezeki yang udah diberikan sama Allah. Karena itu juga, saya udah enggak punya ‘nafsu makan’–makan enggak perlu pakai nafsu, gitu. 😀 Saya makan pun secukupnya enggak pernah sampai ‘kenyang bego’. Itu juga mungkin yang ngebikin makan dan makanan itu ngebikin saya happy banget sekarang ini.

Stoberi dari Panetta Mercato.
Karena itu juga, saya suka berdo’a aneh-aneh dan spesifik urusan makanan ini. Misalnya, minggu lalu saya pengen banget stoberi besar dan merah yang manis. Yang aromanya kayak stoberi beneran. Yang saya biasa beli di Woolies itu belum sebagus yang saya inginkan. Itu do’a yang saya panjatkan ketika saya mau jalan nyamperin si Tuan buat janjian belanja sore-sore. Trus, ndilalah kersaning Gusti Allah, saya jalan ke arah yang bukan Woolies–yang sampai sekarang juga saya enggak ngerti kenapa saya ke arah situ jalannya–trus ketemu toko yang jualan sayuran segar dan bumbu-bumbu pasta. Kayaknya ini toko yang punya orang Italia karena namanya Panetta Mercato. Di depan toko itu, ada stoberi seperti yang saya inginkan. Trus, saya beli. Trus saya happy. 😀
Saya dan stoberi itu emang berjodoh! 😀
Di toko itu saya juga beli bawang putih dan bawang bombay karena lebih murah.

Ini makan malam seminggu yang lalu; capcay dan semur daging.
Dua pekan hidup dengan pola makan seperti ini, saya jadi lebih happy dan tenang. Masak juga enggak capek karena tinggal ditumis doang sayurannya dengan protein (ayam atau daging) yang masaknya juga dibuat sederhana. Si Tuan cuma punya satu wajan dan satu panci, ini udah cukup untuk keperluan itu. Dia juga cuma punya dua piring, dua mangkok, dua piring kecil, dan dua pasang sendok-garpu. Beneran sederhana banget hidup kami sekarang. Saya baru aja mengajarkan diri saya pemikiran bahwa makanan dan masakan itu adalah kesenangan dalam hidup. Ketika uang yang dipakai untuk membeli bahan makanan itu adalah uang halal dari bekerja yang benar (yang juga diniatkan untuk menyenangkan dan mencukupkan keluarga) jadinya double kill itu. 😀
Selama di sini, saya dan si Tuan juga mulai ngejadiin jokes kalo tinggal di luar negeri itu bisa ngomongin cuaca–di Jakarta enggak bisa, kan. Jadi, kami suka memulai obrolan dengan, “Hmmm, nice weather today.” 😀

Sarapan (lupa di hari apa); stoberi (dari Woolies, makanya enggak besar dan merah), blueberry, dan kiwi kuning.
Hari ini Manteman mau ngapain?
Saya mau lanjut baca buku, trus siangan (kalo enggak hujan) mau ke perpus deket sini.
Sehat-sehat, ya, semuaaa~