Saya banyak membaca, menonton, dan mendengarkan penjelasan tentang bohong dan mengapa manusia berbohong beberapa waktu belakangan. Bukan hanya untuk mencari tahu, tapi juga untuk memahami bagaimana cara untuk merelakan realitas saya selama enam tahun belakangan dicuri–dan tentu saja, enggak pernah dikembalikan. Masa enam tahun itu jadi rentang yang kabur dalam ingatan saya, dan pencurinya, tentu saja akan masih dan akan terus mencuri realitas orang lain untuk menyelamatkan dirinya karena dia sudah memutuskan untuk bersembunyi di tempat di mana kenyataan tidak bisa menyentuhnya. Tempat itu gelap, lembab, banyak hantunya, dan sepanjang waktu dia kesulitan bernapas. Untuk keluar dari sana, butuh keberanian luar biasa.
Berita buruknya; pembohong itu adalah pengecut. Mereka enggak akan pernah keluar dari sana–kecuali ada yang lebih menakutkan dibanding kenyataan itu sendiri dan jadi pendorong mereka.
Tulisan ini dibuat untuk orang-orang yang pernah dibohongi, dicurangi, dan ditipu, tetapi masih juga bertanya mengapa mereka diperlakukan seperti itu. Saya sudah berhenti mempertanyakan hal itu karena saya tahu, ini bukan tentang saya. Ini tentang mereka. Karena itu, saya menuliskan apa yang saya pahami tentang mereka.

Gelang ini saya beli untuk mengingatkan saya; I survived Judas.
Namanya Mawar, Dia Pembohong dan Pencuri
Ketika saya SMA, saya punya teman yang duduk tepat di belakang saya, anggaplah namanya Mawar. 😀
Bunga ini anaknya biasa-biasa aja, enggak terlalu pintar, enggak terlalu lambat juga mengikuti pelajaran. Wajahnya biasa-biasa saja. Saya dan teman sebangku saya suka berbalik ke belakang untuk mengobrol dengan Mawar dan teman sebangkunya. Pembicaraan biasa anak remaja SMA, lah … kadang tentang pelajaran, tentang guru, atau tentang cowok.
Suatu ketika, teman sebangku Mawar, anggaplah namanya Melati, salat di masjid tempat kami biasa singgah sepulang sekolah. Hari itu, saya dan Melati bicara agak lama di tangga masjid (tempat salat perempuan ada di lantai dua) karena Melati bercerita tentang kemungkinan kalau Mawar ini bercerita bohong padanya. Saya bertanya, “Cerita apa aja?”
“Banyak,” jawab Melati. “Dia bilang bapaknya guru di SMA 8.”
Saya kasih konteks dulu, ya. SMA 8 ini, ketika saya SMA, itungannya adalah SMA paling keren di Jakarta. Kalo otak kamu enggak encer banget–sampai meleleh dari kuping, eh …–mustahil kamu bisa masuk SMA 8.
“Trus dia bilang, dia sepupuan sama Agnes Monica. Kemaren Agnes dateng ke rumah dia dan rumahnya musti dijagain polisi biar wartawan enggak dateng. Trus besokannya Bertrand Antolin juga nginep.”
Okeee. Konteks lagi. Agnes Monica dan Bertrand Antolin di jaman saya sekolah dulu itu emang lagi tenar banget.
“Trus, dia cerita kalo minggu lalu pas dia enggak sekolah itu, dia ke Malaysia sama manager-nya Dewa 19.”
Konteks lagi–hadeh, ini kehidupan lebih 20an tahun yang lalu soalnya, hahahaaa…. Jaman itu, Dewa 19 itu lagi tenar banget dan konser di mana-mana.
Cerita-cerita ini terus ditambah. Saya bahkan udah lupa tambahan ceritanya apaan aja karena luar biasa enggak masuk akalnya. Waktu itu, enggak bisa dengan gampang kita ngecek hidup seseorang dengan ngeliat sosial medianya. Ponsel pun belum banyak yang punya ketika itu. Saya bilang sama Mawar kalo kemungkinan besar si Melati ini ngehalu, kalo bahasa sekarangnya begitu. Atau kalo mau pakai istilah gaul bahasa Inggrisnya; delulu (diambil dari; delusional). Penyebabnya bisa banyak, salah satunya; trauma, ketidakmampuan menghadapi kenyataan, dan rasa rendah diri.
Cerita-cerita Mawar ini bisa dengan mudah saya deteksi sebagai kebohongan karena terlalu too good to be true. Beberapa waktu kemudian, Mawar ini mencuri uang bayaran sekolah saya, sekitar Rp50.000,-. Untuk jaman itu, lima puluh ribu itu jumlahnya besar banget. Kelas pun heboh. Ketua kelas waktu itu bekerjasama dengan beberapa anak yang ‘berani’ pun membuat jebakan untuk menangkap basah si Mawar ini dan tertangkap. Dia dibawa ke BK (Bimbingan Konseling) dan saya lupa bagaimana lanjutannya. Kayaknya dia akhirnya dipindah duduk ke barisan belakang, dikucilkan, dan karena peristiwa ini terjadi dekat dengan ujian kelulusan, setelah itu si Mawar menghilang. Enggak pernah kelihatan lagi di peredaran. Sisa-sisa kebohongannya masih ada yang mencoba membuktikan. Misalnya; ada anak yang datang ke rumah si Mawar dan memastikan kalo ayahnya bukan guru SMA 8. Namun itu terjadi belakangan dan hanya jadi pelengkap dari semua kejadian itu aja.
Semua orang sudah tahu kalo si Mawar adalah pembohong. Pembohong itu ternyata sepaket dengan pencuri.
Beberapa tahun kemudian, di Facebook, saya masih melihat Mawar menulis hal-hal aneh. Misalnya; status tentang betapa seorang cowok ganteng (kayaknya itu pacarnya) yang tergila-gila sama dia dan nge-tag dia terus. Trus di status-starusnya, dia ngebikin seolah dia kerja di luar negeri, entah apa pekerjaannya. Ketika itu saya hanya membatin, “Ternyata pembohong dengan model seperti ini, akan terus berbohong sampai kapanpun.”
Dasar dari kebohongan-kebohongan itu mungkin terlalu sulit untuk dihancurkan; ketakutan yang teramat sangat akan kenyataan. Enggak bisa hidup di dalam kenyataan. Kenyataan itu seperti cahaya terang yang menyakitkan mata mereka sementara mereka tinggal di dalam gua gelap.
Setelah itu, saya enggak pernah lagi tahu apa yang terjadi dengan si Mawar. Di grup alumni SMA saya juga dia enggak ada. Saya juga enggak nyari di Facebook atau sosial media lain karena, yah … ngapain juga gitu, kan. Di sepanjang perjalanan hidup saya, ada satu-dua pembohong yang levelnya seperti Mawar ini yang saya temui. Ada juga beberapa yang levelnya di bawah si Mawar ini; berbohong tapi enggak se-delulu si Mawar. Ada juga orang-orang yang menyerakkan kebohongan-kebohongan kecil dan ketahuan. Saya punya kecurigaan kalo bisa jadi saya bertemu juga dengan orang seperti Mawar, tetapi saya enggak tahu karena saya enggak intens berteman dengan yang bersangkutan.
Atau bisa jadi, semua orang yang saya temui pernah membohongi saya, tetapi enggak ketahuan jadi saya enggak tahu.
Atau bisa jadi, saya juga begitu. Saya bisa pastikan kalo saya juga pernah berbohong.
Dua puluh sekian tahun kemudian, saya bertemu dan berteman dekat dengan orang yang seperti Mawar. Ini adalah yang paling menarik bukan hanya karena pengalaman saya dengan Mawar membantu saya, pada akhirnya, memahami mantan teman saya ini, kita panggil saja dia Incess (dari kata Princess, karena seperti itulah dia memandang dirinya).
Yang paling menarik dari Incess adalah; dia jauh lebih pintar, jauh lebih pandai bercerita, dan jauh lebih rapi mengatur kebohongannya. Saya pun akhirnya terlibat pertemanan dan bisnis dengan Incess enam tahun lamanya. Satu hal yang saya punya–dan akhirnya saya pahami sebagai sesuatu yang dimanfaatkan Incess–adalah empati. Ada hal lain yang saya juga pahami pada akhirnya, bahwa; perilaku seperti Incess ini didorong oleh gangguan perilaku (personality disorder) yang enggak bisa disembuhkan, bukan penyakit kejiwaan (mental health).
Trus, gimana? Yaaa … enggak gimana-gimana. Udah urusan dia sama Allah. Udah saya kembalikan dia ke Allah ketika saya juga mengembalikan semua kejahatan dan fitnah dia pada saya ke Allah. Tulisan ini saya buat karena cara saya untuk memahami hal-hal yang sudah lewat sampai bisa saya jadikan pelajaran adalah dengan menjadikannya objek pemikiran dan penelitian. 😀
Saya ingin memahami mengapa hal seperti itu terjadi. Bukan untuk menyalahkan para pembohong dan penipu ini, tetapi untuk membuat ‘laporan kejadian’ yang bisa saya pelajari untuk kemudian bisa saya masukkan ke catatan pelajaran hidup saya–dan mungkin juga, kalo kamu baca ini, bisa buat pelajaran kamu juga.

Tulisan ini nanti saya lanjutkan ke bagian 2, ya. Panjang banget kalo ditulis semua sekalian di sini. Kalo Manteman pernah punya pengalaman serupa ketemu atau bahkan pernah berteman dengan orang kayak gini, cerita, dong. Silakan di kolom komen atau di Instagram/Threads saya: @octanh.
Kadang2 tukang bohong tuh ada yg mental illness jg, dia merasa memang itu kenyataannya padahal nggak. Btw, sepertinya kita seangkatan hahaha
Kita emang seangkatan kayaknya, Mbak Rina. 😀