Seperti yang sudah saya tulis di tulisan ini, saya ingin meromantisasi kota ini sebagai ungkapan syukur saya bahwa saya diperkenankan dan diberi rezeki untuk tinggak di sini–entah, sampai berapa lama. Anggaplah kayak saya lagi dapat teman baru, trus dia orangnya baik, jadinya saya pengen gitu buat nyeritain dia ke teman-teman yang lain. Nyeritain indahnya doang, kayaknya udah biasa, ya…. Gimana kalo saya ajak jalan bareng sambil nyeritain kota ini wanginya kayak apa. πŸ˜€

Saya tinggal di tempat yang namanya Macquaire Park. Kata Wikipedia, sih, gini sejarahnya:

Macquarie Park is named for Governor Lachlan Macquarie (1762–1824), a British military officer and colonial administrator who served as the Governor of New South Wales from 1810 to 1821. The area that is now Macquarie Park was part of the suburb of North Ryde from the late 19th century.

From Wikipedia

Tanah yang sekarang jadi Macquarie Park ini, dulunya adalah milik Dharug Wallamatta People. Saya tahu karena beberapa kali datang ke kuliah umum (open lecture) dan acara di kampus, sebelum kuliah dan acara itu dimulai, akan ada acknowledgement of country sesuai dengan lokasi. Contohnya kayak gini:

Video itu akan diputar di layar. Setelah itu, kadang dosen atau pembicara masih akan ngasih acknowledgement of country lagi secara lisan:

I acknowledge the traditional custodians of the Macquarie University land, the Wallumattagal clan of the Dharug nation, whose cultures and customs have nurtured, and continue to nurture, this land, since the Dreamtime. We pay our respects to Elders past, present and future.

Policies

Saya penasaran dengan tradisi ini, jadi setelah saya lihat dua kali, pulang dari lecture, saya googling tentang hal ini sampai puas. Sekarang, setiap kali saya ngeliat acknowledgement of country ini, saya jadinya kayak orang-orang asli sini; ngedengerin dengan hikmat dan bersyukur atas kesempatan untuk tinggal di atas tanah ini.

Lanjut nulis yang emang mau ditulis. Ini, kok, ngalor-ngidul gini…. πŸ˜€


Ayo, kita jalan-jalan…. ^^

Tiap kota punya aromanya sendiri. Munjul, Cibubur, Cilangkap, dan sekitarnya, semisal. Aromanya berubah menurut waktu. Pagi, bau asap knalpot bercampur sisa-sisa dingin subuh yang di antaranya menguar aroma nasi uduk dan gorengan panas. Di siang yang panas, hidung akan menangkap bau aspal, bercampur debu, dan masih dengan bau asap knalpot di jalanan yang semakin sesak. Malam adalah campuran dan sisa aroma siang yang panas dan dimulainya hidup yang lain; aroma masakan dari warung-warung tenda, asap dari panggangan sate yang terkadang harus diterabas, dan lelah yang sendu dari hari yang hampir habis.

Saya enggak suka bau knalpot, tapi … itu adalah bau yang mengingatkan saya pada banyak hari saya harus berjalan jauh dengan angkutan umum untuk pergi ke tempat-tempat yang saat ini, ketika saya mengetik tulisan ini, bertahun kemudian, saya pahami adalah tempat-tempat singgah yang mengantarkan saya ke tempat-tempat baru yang lebih jauh, lebih indah. Tempat-tempat baru buat saya adalah do’a-do’a yang dikabulkan.

Tempat ini, Macquarie Park, adalah satu dari banyak do’a yang saya panjatkan. Jadi, ayo … jalan di samping saya sambil bercerita tentang aromanya. Kita akan berjalan dari tempat tinggal saya di Allengrove Cresent ke taman di tengah kampus yang sering saya datangi untuk melihat kakaktua di sore hari.

Ini petanya:

Jaraknya 2.1 kilometer yang akan kita tembuh dalam waktu 31 menit–kalau enggak mampir dan ngaso sebentar. πŸ˜€

Sekarang sudah sore, pukul 17 lewat sedikit, matahari sudah condong ke barat, dan suhu sudah mulai mendingin.

Trotoar di sepanjang jalan lebarnya cukup untuk pejalan kaki dan sepeda berpapasan tanpa harus takut saling mengganggu. Enggak ada bau knalpot karena sebagian mobil di sini adalah mobil listrik. Melihat Tesla, Ioniq, dan mobil listrik lain yang merek dan tipenya saya enggak hapal, adalah hal biasa. Di hari yang dingin, dengan suhu di bawah lima belas derajat celsius, hidung kita enggak akan lagi bisa menangkap aroma dengan baik. Yang lebih tercium adalah dingin itu sendiri yang enggak ada aromanya, tapi rasanya seperti memenuhi rongga hidungmu.

Hari ini cukup hangat, kita mencium aroma dari pohon-pohon di tepi trotoar. Kebanyakan adalah pohon Eucalyptus globulus, yang nama kesehariannya adalah southern blue gum, atau disingkat dengan blue gum. Seperti namanya, kalau kita berjalan di bawahnya, yang tercium adalah aroma seperti minyak angin, tapi samar. Dicampur dengan suhu hari ini, aromanya jadi segar di hidung kita.

Yang berikutnya sering kita lewati adalah Corymbia citriodora, atau nama lainnyaΒ lemon-scented gum. Pohonnya gagah, tinggi, tapi enggak terlalu rindang. Saya enggak yakin kita akan bisa mencium aroma lemon seperti yang ada di namanya. Di hari-hari menjelang musim panas seperti sekarang ini, si lemon-scented gum ini kulit luarnya akan terkelupas sendiri. Menyisakan kulit dalam yang warnanya hampir mendekati putih.

Satu hal yang saya sadari setelah banyak berjalan bolak-balik melewati jalur ini dan mengambil banyak foto; langit di sini biru. Ketika kamu lihat dan kamu foto. Di Jakarta, langit biru bukanlah keniscayaan; kamu hanya akan melihatnya di cuaca yang sangat baik, di hari yang kamu sangat beruntung.

Kalo kita sudah bisa mencium aroma melati, itu artinya, kita sudah sampai di Khartoum Road.

Di sini, biasanya kita sudah akan berpapasan dengan banyak orang lalu-lalang karena banyak apartemen dan di ujung jalan, ada shopping center yang cukup besar.

Di tepi trotoar, ditanam bunga kaca piring (di sini namanya jadi cape jasmine) yang rumpunnya sangat besar. Di musim semi menjelang ke musim panas seperti sekarang ini, bunga-bunganya banyak yang mekar dan aromanya wangi sekali. Pernah sekali waktu saya lewat di jalan ini setelah pukul sembilan malam dan bercanda dengan Si Tuan, “Ini kalo settingnya di pojokan kebonan di Munjul, yang keluar berikutnya itu kudu kuntilanak, yah … minimal poci, laaah~”

Melewati Khartoum Road ini, saya biasanya agak merapat ke tepi demi bisa mencium wangi melatinya sepanjang jalan.

Berbelok ke kanan, kita akan masuk ke Waterloo Road.

Jalanan di Waterloo Road ini lebih ramai, lebar, dan punya beberapa lampu merah untuk pejalan kaki di depan jalur keluar-masuk kendaraan ke dalam gedung dan shopping center. Kalo kamu melihat ada zebra cross di jalan raya, itu artinya; kamu bisa menyeberang kapan saja dan kendaraan lain akan mengalah untukmu. Namun, kalo yang kamu temui adalah lampu merah untuk pejalan kaki yang musti kamu tekan tombolnya, itu artinya; kamu musti menunggu giliran.

Setelah lampu merah di depan itu, kamu akan mulai mencium aroma yang akan sangat kamu suka; daging bakar. Mirip dengan aroma sate ketika dibakar, minus asapnya. Tepat di tepi jalan, ada restoran BBQ Korea yang sangat ramai di sore hari, Kong BBQ namanya.

Kita lanjut jalan, ya….

Kita akan jalan lurus sambil berusaha enggak acuh dengan aroma daging bakar yang sangat sedap itu sampai kita melihat stasiun metro sebelum perempatan.

Gambar di atas itu adalah tangga masuk ke pintu stasiun metro. Stasiunnya sendiri ada di bawah tanah dan biasanya akan ada dua pintu masuk yang dipisahkan oleh jalan raya. Jadi, di seberang jalan raya ini, akan ada pintu masuk lagi.

Ada dua jenis moda transportasi mirip kereta di Sydney, eh … tiga, ding. Ada metro, train (kereta), dan light rail (mirip tram karena jalurnya ada di jalan raya). Di dekat tempat tinggal saya, di Macquarie Park ini, hanya ada metro. Logo tiap kendaraan hanya bulat dengan kode warna dan huruf. Untuk metro, warnanya biru dengan huruf M. Metro dan kereta punya jalannya masing-masing, tapi ada stasiun yang menghubungkan keduanya, salah satunya stasiun di Central, namanya.

Ini fotonya:

Bedanya kereta dan metro itu sama kayak bedanya MRT/LRT dengan CL di Jakarta.

Oh, saya ada video di reels Instagram ketika saya naik metro.

Kita lanjut jalan, ya.

Stasiun metro ini aromanya seperti … hmmm, paling mendekati yang bisa saya katakan adalah; mirip aroma ketika kamu masuk ke gedung wahana di Dufan. Nah, aromanya seperti itu kalo kamu dari luar dan mau masuk ke dalam. Kalo sudah di dalam, aroma ini sudah enggak tercium lagi.

Melewati stasiun metro pertama–karena di seberang jalan ada lagi–kita akan ketemu dengan perempatan paling ramai di sini. Setelah perempatan ini, kita masuk ke wilayah kampus.

Beberapa waktu lalu, ada perbaikan jalan di sepanjang Waterloo Road ini. Aspalnya dibuat lebih mulus, jadi mungkin kita akan mencium sekelebat aroma aspal di sekitar sini. Kita menyeberang dan masuk ke wilayah kampus yang pohon-pohonnya lebih banyak lagi. Kita akan jalan lurus sampai masuk ke lapangan rumput yang biasanya, di sore hari, akan banyak burung kakaktua nongrong di sana. πŸ˜€

Batang dan tunggul pohon lemon-scented gum ini biasanya dipakai duduk-duduk oleh orang-orang yang datang ke lapangan ini untuk bersantai. Kadang-kadang, saya melihat satu-dua orang lebih memilih untuk tiduran di rumput dengan alas–harus dengan alas, ya, karena mungkin ada poop kakaktua. πŸ˜€

Di lapangan ini, udara terasa lebih segar, aroma rumput bercampur dengan pohon-pohon di sekitarnya sebenarnya … kadang membuat saya ngantuk. Ah, sekarang jadi masuk akan kalo ada orang yang memilih rebahan di rumput. Hehe.

Kita sudah sampai. Biasanya, saya akan duduk-duduk di sekitar lapangan ini menunggu Si Tuan selesai di lab dan kami bisa jalan ke Woolies (panggilan untuk Woolsworths yang sulit disebut itu) untuk membeli bahan makanan. Kami jarang makan di luar dan mekanisme memasak dan penyimpanan bahan makanan pun saya atur seefisien mungkin. Saya hanya belanja apa yang habis jadi enggak perlu menyimpan banyak bahan dan saya bisa pastikan setiap bahan kondisinya selalu segar dan selalu habis.

Kalo saya pindah dari Sydney, mungkin aroma pohon-pohonnya di sepanjang jalan ini yang akan saya rindukan. Sama seperti sekarang saya merindukan aroma asap knalpot di jalanan Jakarta. Saya enggak tahu masa depan akan seperti apa. Mungkin saya akan menemukan aroma-aroma lain, di kota-kota lain. Aamiin.

Manteman hari ini mau ngapain rencananya?

Nanti sore, saya dan Si Tuan mau dinner bareng temen-temen di resto Italia, Verace namanya. Sesiangan ini sampai sore, saya mau ngerapiin rencana ini-itu untuk membuat komunitas dan platform-nya sebelum meeting (lagi) dengan team nanti malam. Karena saya sudah berjanji pada diri saya sendiri kalo hidup saya akan saya ceritakan di sini, begitu pula dengan setiap langkah yang terlewati sebagai ungkapan syukur, jadi … saya akan menuliskan tentang perkembangan platform itu dari hari ke hari. Nantikan, yah.

Saya juga sangat bersyukur kalo Manteman datang ke blog ini dan membaca. Trus, saya dapet ini tadi pagi, Manteman:

Saya penulis karena saya menulis. Jadi, do’a saya hari ini:

“Allah … saya ingin balik lagi jadi penulis. Lepaskan yang memberatkan dada, mengacaukan otak, dan menyedihkan hati. Saya ingin bermanfaat lagi. Saya ingin dipertemukan dengan orang-orang baik yang kami bisa saling bertukar kebaikan. Orang-orang jujur yang kami bisa saling percaya. Orang-orang hebat yang kami bisa saling membantu. Aamiin.”

Minta tolong di-aamiin-kan, ya, Manteman~

Saya … lanjut, ya. Makasih udah mampir~ ^^

Visited 43 times, 1 visit(s) today

2 Comments

  1. Rina November 6, 2024 at 10:22 AM

    Aroma eucalyptus, jadi kayak lagi jalan di spa gak sih, so relaxing 😍

    Reply
    1. Octaviani Nurhasanah - Site Author November 6, 2024 at 10:26 AM

      Ah, iyaaa…. Kayak gitu rasanya. Makanya saya suka banget jalan bolak-balik ke kampus cuma biar menghirup aroma melati dan pohon-pohon di samping trotoar. ^^

      Reply

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.