Saya mencoba mencari judul tulisan ini dalam bahasa Indonesia, tapi enggak ketemu. Jadi, yaudah … ini aja, ya. Unapologetically and Authentically Myself; menjadi diri sendiri tanpa sesal sedikit pun.

Saya nanya dulu, deh, ke kamu–pembaca sekalian; kamu kenal diri kamu enggak?

Saya kenal diri saya sejak lama. Saya tahu apa yang saya suka, mau kerjakan, dan mau perjuangkan. Kepala saya keras seperti batu dan ketabahan saya … jangan tanya. Kalo hati saya sudah keras untuk satu hal, saya akan perjuangkan hal itu sampai titik darah penghabisan. Saya menunjukkan diri saya apa-adanya ke pada siapapun, bukan karena saya sempurna, tapi karena saya tahu; saya otentik. Saya jujur tentang diri saya, apa adanya.

Peringatan: Tulisan ini akan penuh dengan foto-foto kaki saya yang saya ambil kemarin tanpa alasan khusus. 😀

Saya ingin mengatakan–atau sekalian, deh; mem-branding–diri saya sebagai seniman karena saya enggak hanya suka menulis, saya juga suka fotografi, editing video, membuat podcast, membacakan puisi, merajut, memasak, membuat kue … yah, hal-hal kayak gitu, lah. Saya suka semua hal itu bukan karena saya dipaksa belajar, trus jadi bisa, trus jadi suka. Dasar saya mulai mempelajari itu semua adalah karena saya tahu kalo saya akan suka.

Saya tahu apa yang akan saya suka.

Atau, kalo mau dibuat lebih teknis istilahnya; saya punya pemahaman yang kuat atas jati diri saya. I have strong sense of self.

Yang jadi masalah adalah; saya juga punya empati yang besar. Ini adalah hal yang baru saja saya pahami tentang diri saya. Empati yang besar ini membuat saya juga bisa dan ingin memahami orang lain. Energi yang dihabiskan untuk memahami orang lain ini sebanding dengan energi yang dihabiskan untuk memahami diri sendiri juga.

Atau, kalo mau dibuat lebih teknis lagi penjelasannya; ketika saya menghabiskan lebih banyak waktu untuk memahami dan melayani orang lain, saya akan kehilangan diri saya sendiri.

Salah satu masa di mana saya merasa kehilangan diri saya sendiri adalah ketika saya baru melahirkan. Saya ingin memahami anak-anak saya, tapi, ketika lebih banyak waktu yang saya habiskan untuk memahami mereka dengan cara melayani semua kebutuhan mereka (yah, karena mereka masih bayi, kan …) maka saya akan mulai kehilangan diri saya. Namun, diri saya itu akan kembali ketika saya memberi waktu untuk diri saya sendiri. Masa-masa kehilangan diri ini enggak pernah lama. Saya selalu kembali, ke diri saya yang baru, karena ada identitas baru yang ditambahkan (saya jadi ibu dari anak ke sekian gitu, anak saya enggak cuma satu), dan saya akan punya sense of self yang baru, yang lebih kuat, dan tetap otentik.

Pemahaman bahwa saya otentik ini yang kemudian membuat saya enggak peduli juga kalo ada yang mencoba meniru apa yang saya lakukan. Yaudah, lakukanlah…. Namun, kemudian … pertanyaannya; kalo saya melakukan sesuatu karena saya mengenal siapa saya dan paham apa yang saya inginkan, apakah kamu juga begitu? Atau kamu mencoba menjadi saya karena menurutmu, bisa jadi, menjadi seperti saya itu yang kamu inginkan? 😀

Mengenal diri sendiri dan kemudian mampu menjadi diri sendiri yang otentik ini yang juga kemudian membuat saya punya ‘thisness’. Saya enggak bisa menerjemahkannya. 😀 Gampangnya begini; kamu akan tahu kalo sesuatu itu buatan saya. Entah itu foto, tulisan, suara, atau cara saya bercerita. Sayangnya, saya enggak pernah bernar-benar serius nge-branding diri saya di sosial media. Sejauh ini, saya masih mikir; yaudah aja, deh … organik aja.

Saya sendiri enggak tahu caranya untuk sampai ke pemahaman diri yang seperti ini. Mungkin karena dari kecil saya keras kepala sementara hidup selalu keras dan saya juga terus-terusan bersikeras untuk tetap hidup. Mungkin. Atau, bisa jadi karena saya menolak menjadi apapun yang bukan saya setelah saya tahu apa yang saya mau serta mengerti kemampuan dan potensi saya bisa didorong sampai di mana. Mungkin juga, karena saya jujur tentang siapa saya. Bukan hanya pada diri saya sendiri, tapi juga pada semua orang yang ingin kenal dengan saya.

This is me. All of it. Truthfully.

Sense of self yang kuat ini, kalo kamu punya anak atau anak-anak, bisa membuat kamu dengan mudah menerima siapa anak atau anak-anak kamu tanpa memaksa dan membentuk mereka jadi sesuatu yang kamu mau. Kalo ngeliat anak-anak saya sekarang, dengan kepribadian yang berbeda-beda, dengan potensi dan kesukaan yang berbeda-beda, saya jadi paham bahwa apa yang saya contohkan tentang sense of self ini, adalah sesuatu yang akan mereka terapkan juga. Kalo mereka lihat ibunya unapologetically herself, mereka pun akan begitu–sepanjang di dalam koridor kebaikan, ya.

Hal ini juga mungkin yang ngebikin saya enggak peduli dengan penilaian orang lain terhadap saya. Yaudah aja, kayak kenal aja…. Atau, emang kenal? Beneran? Sekenal apa? Saya tahu diri saya, soalnya. Kalo ada orang yang ngasih tahu saya siapa, saya dengerin aja. Misalnya kayak ada yang ngomong, “Lo itu sensitif banget.”

Saya jawab, “Iya. Saya sensitif. Saya peka buat ngerasain–bukan cuma ngeliat dan memperhatikan–sekeliling saya. Sensitivitas itu yang kemudian bisa ngebuat saya mampu ngeliat apa-apa yang orang enggak lihat. Ada yang salah dengan itu, menurut lo?”

Saya pernah ngedengerin banyak hal yang dikatakan orang ke saya. Misalnya, ketika saya mengatakan atau menjelaskan perasaan saya yang sebenarnya dan sejujurnya, saya dibilang bohong, enggak jujur, dan menutup-nutupi. Dasar mereka mengatakan hal itu ke saya adalah; karena mereka punya pengalaman hidup yang beda, yang kemudian mereka ‘paksakan’ untuk sesuai di saya. Pengalaman hidup yang dipagari ruang dan waktu yang berbeda itu, kemudian dijadikan tolok-ukur untuk menilai hidup saya. Kalo dulu, beberapa tahun lalu, saya akan memikirkan ulang apa yang mereka katakan. Saya akan mempertanyakan kejujuran diri saya sendiri. Sekarang, saya enggak peduli. Saya tahu saya jujur, mereka enggak percaya? Yaudah. Mungkin mereka yang ingin saya enggak jujur karena kejujuran saya menyakitkan harga diri mereka atau menghancurkan imajinasi mereka tentang dunia mereka sendiri. 😀

Sense of self saya akhir-akhir ini jadi makin kuat, bukan karena saya membuatnya menguat, tapi karena pelan-pelan, perlahan-lahan, saya jadi menghabiskan waktu yang saya miliki untuk lebih dekat dengan diri saya. Untuk melakukan lagi apa-apa yang pernah saya suka (seperti menulis, fotografi, mengedit video, dan lainnya–termasuk memasak), tapi dengan cara pandang yang baru. Seperti di tulisan yang saya jadikan pembuka blog ini; saya udah lama banget enggak menulis dan melakukan hal-hal yang saya sukai. Sekarang, saya melakukannya lagi, di tempat baru. Saya enggak jadi orang baru; saya orang lama di tempat baru.

Saya enggak tahu mengapa saya menulis topik ini sebenarnya. 😀

Awalnya, kemarin, saya mengambil beberapa foto ketika saya dan si Tuan pergi berbelanja sekalian jalan sore. Trus, saya lihat kalo fotonya bagus. Trus, akhir-akhir ini juga saya banyak mendiskusikan tentang diri saya ke si Tuan, semacam, “Gue banyak berubah, ya, beberapa tahun belakangan? Gue pengen balik jadi diri gue lagi.” Diskusi seperti itu kemudian dilanjutkan dengan saya memikirkan tentang konsep diri, jati diri, dan apa-apa yang membuat diri saya itu adalah diri saya–ini, kok, jadi ribet bahasanya, ya. 😀

Kalo kamu ngerasa sedang atau pernah kehilangan dirimu karena sebagian besar dirimu itu kamu ‘berikan’ ke orang lain, entah itu anak, suami, atau keluarga … mungkin kamu perlu memikirkan caranya untuk jadi dirimu lagi. Banyak orang yang kemudian melakukan ‘me time’. Saya sendiri enggak suka ‘me time’ karena saya suka ditemani si Tuan atau anak-anak. Karena, sepertinya, ketika kita enggak bisa pulang ke diri kita yang sejujur-jujurnya adalah diri kita (unapologetically ourself), kita enggak akan pernah puas dan tenang karena di tempat sepersonal itu, sedalam itu, sesepi itu … kita masih juga harus perpura-pura.

Iya, kan?

Jadi, pertanyaan saya di atas, saya ulang lagi, ya….

Who are you?

Kamu itu siapa? Kamu kenal enggak diri kamu sendiri?

Kalo kamu bisa jawab, pertanyaannya ditambah; kamu mampu enggak untuk hidup dengan kejujuran tentang siapa dirimu itu? Jadi unapologetically yourself. Authentically yourself.

Jawaban saya untuk pertanyaan ‘kamu itu siapa?’ adalah, “Saya ini hamba Allah.” Dan, ada lanjutannya, ” … yang otentik. Cuma satu yang kayak saya. And, I will live my life unapologetically authentic.

Udah. 😀

(Padahal berat itu dijalankan jawabannya.) 😀

Gitu, sih….

Manteman hari ini mau ngapain? Saya mau di rumah sampai sore, masak, trus mungkin jalan kaki biar seger menjelang sore nanti. Si Tuan mau jogging dan saya diminta ngambil foto dia jogging. Hehe.

Visited 53 times, 1 visit(s) today

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.